Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi UU KPK, Pemberantasan Korupsi Setengah Hati

Kompas.com - 28/09/2012, 06:33 WIB
Aditya Revianur

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengajuan draf revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk pelemahan KPK dalam memberangus tindak pidana korupsi. Undang-undang KPK tidak selayaknya diutak-atik oleh Komisi III DPR sebab hal tersebut adalah bentuk dari penelanjangan kewenangan KPK yang hingga kini telah efektif menekan angka korupsi.

"Kalau semua telah sepakat memberantas korupsi, jangan kemudian setengah hati. Sebab itu, janganlah KPK ini dibonsai, dilumpuhkan, bahkan diamputasi kewenangannya untuk memberantas korupsi," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma dalam diskusi bulanan Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Kamis (27/9/2012).

Alvon menandaskan, selama KPK berdiri dan memulai sepak terjang memberantas korupsi, telah silih berganti institusi negara berusaha mengganggu dan melawan KPK melalui berbagai dalih. Revisi draf revisi UU KPK yang diajukan oleh Komisi III DPR, menurutnya, termasuk dalam upaya mengganggu dan melawan kewenangan KPK.

"Proses menguatkan KPK harus ditingkatkan. Hal ini harus terakselerasi dengan baik. Karena itu, rakyat seharusnya berpikir mengenai aktivitas politik untuk melumpuhkan KPK harus dihilangkan, paling tidak terminimalisir dahulu," tambahnya.

Advokat senior Alexander Lay turut menjelaskan, persoalan yang dihadapi Pemerintah Indonesia dalam menghadapi korupsi sudah sangat kompleks. Perilaku koruptif, menurutnya, telah akut. Sebab itu, peran KPK sebagai lembaga antikorupsi akan terus diperlukan.

Wacana mengenai KPK adalah lembaga ad hoc tidak lebih dari wujud setengah hati memberantas korupsi. "Pemberantasan korupsi tidak bisa dikatakan hanya beberapa tahun saja yang kemudian Indonesia akan bebas dari korupsi. KPK kalau bisa dibutuhkan selamanya di Indonesia, di UU KPK pun jelas disebutkan bahwa KPK bukan lembaga ad hoc," ungkap Alex.

Alex menambahkan, UU layak direvisi jika terdapat masalah yang ditimbulkan sebagai manifestasi UU itu di ranah kehidupan nyata. Dia melihat, masalah yang mendera KPK tidak disebabkan oleh manifestasi UU tersebut. Ia menerangkan, masalah yang mendera KPK lebih disebabkan adanya pihak yang sengaja untuk melemahkan KPK, baik melalui revisi UU KPK maupun menekan sumber daya intelektual KPK, yaitu para penyidik lintas institusi negara.

"Perlu ada studi mendalam soal telaah kewenangan KPK. Selama ini, hanya MK yang menegaskan kewenangan KPK tidak bertentangan dengan UUD 1945. Seharusnya DPR paling tidak dapat melakukan studi mendalam seperti yang dilakukan MK," pungkasnya.

Sementara itu, anggota komisi III DPR RI dari fraksi Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin menegaskan revisi UU KPK bertujuan untuk memperkuat penguatan kewenangan KPK, bukan sebaliknya. Dia menjelaskan, Undang-undang KPK yang lama sejatinya telah memadai. Revisi UU KPK, terangnya, lebih ditekankan pada pergantian pimpinan KPK yang selalu menimbulkan polemik. Didi juga menekankan urgensi adanya sanksi terkait pelaporan laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) yang tak sesuai antara laporan dan fakta.

"Banyak kok yang ingin KPK kuat karena kami ingin bersama-sama mengawal reformasi ini. Hal paling penting dari reformasi adalah penegakan hukum, pemberantasan korupsi dengan sungguh-sungguh dan luar biasa. Korupsi harus diberangus dengan penguatan KPK,"terang Didi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com