JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas Undang-Undang No.12/2008 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Dengan demikian, Aparat penegak hukum terutama Kejaksaan dan Polisi Republik Indonesia (Polri) tidak lagi harus meminta persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan proses hukum penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang terlibat perkara dugaan korupsi.
"Mahkamah menyatakan mengabulkan sebagian permohonan pemohon," kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (26/9/2012).
MK berpendapat, persetujuan tertulis dari Presiden yang disyaratkan dalam proses penyelidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Pemda akan menghambat proses penyelidikan. Sebab, Presiden diberi waktu 60 hari untuk mengeluarkan persetujuan tersebut.
Dalam tenggang waktu itu, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana berpeluang melakukan upaya penghapusan jejak tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti. Bahkan penyelidikan yang dirahasiakan dapat diketahui oleh yang bersangkutan.
"Syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan," ujar Hakim Konstitusi Akil Mochtar.
Akil menjelaskan, Mahkamah mempertimbangkan pendapat tertulis dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan bahwa persyaratan persetujuan tertulis dari Presiden telah menghambat keseluruhan proses peradilan. Dia mengatakan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 jelas menjamin bahwa sistem peradilan di Indonesia harus bebas dari intervensi.
"Persetujuan tertulis pada tahap penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah atau pejabat manapun tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup, dan akan memperlakukan warga negara secara berbeda di hadapan hukum," ucapnya.
Dia menjelaskan, proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana, meskipun mungkin mengganggu kinerja kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan daerah, namun tidak menghalangi yang bersangkutan untuk menjalankankan tugasnya. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diselidiki dan disidik masih dapat melaksanakan tugas sehari-hari seperti biasa.
Mengenai adagium yang menyatakan bahwa terhadap sesuatu yang berbeda seharusnya diperlakukan berbeda, dan terhadap sesuatu yang sama harus diperlakukan sama, menurut Akil, pejabat negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya memang berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat negara, namun pejabat negara juga merupakan warga negara.
Sebagai subjek hukum, terlepas dari jabatannya, kepala daerah pun harus diperlakukan sama di hadapan hukum.
"Oleh karena itu persetujuan tertulis dari Presiden tidak boleh menjadi hambatan bagi proses penyelidikan dan penyidikan kepala daerah yang bersangkutan karena esensi dari persetujuan tertulis Presiden hanyalah agar Presiden sebagai pimpinan dari para kepala daerah mengetahui bahwa pimpinan dari suatu daerah akan mengalami proses hukum yang membatasi ruang geraknya, sehingga yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas pemerintahan dengan baik, dan akan berakibat pada terjadinya kekosongan pimpinan daerah. Berdasarkan hal itu Presiden melalui Menteri Dalam Negeri segera dapat mengambil langkah-langkah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," paparnya.
Salah satu kuasa hukum para pemohon, Donal Fariz mengapresiasi keputusan Mahkamah. Menurut Donald, langkah Mahkamah ini merupakan percepatan kinerja aparat penegak hukum terutama Polri dan Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. Sebab, selama ini fakta di lapangan membuktikan karena posisi jaksa dan polisi dibawah Presiden akhirnya muncul kegamangan bagi mereka untuk bertindak melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kepala dan/atau wakil kepala daerah.
"Walaupun keputusan MK tidak sempurna, sudah pasti ini menggembirakan bagi upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum khususnya Kepolisian dan Kejaksaan. Kekecewaan kami hanya ketika masih dibutuhkan ijin terhadap penahanan para tersangka kasus korupsi kepala dan/atau wakil kepala daerah. Jadi, proses penyelidikan dan penyidikan bisa dilalui tanpa ijin dari Presiden namun yang dibutuhkan ijin hanya saat penahanan saja," kata Donald.
Pengujian UU Pemda ini dimohonkan sejumlah aktivis anti korupsi yaitu Indonesia Corruption Watch (ICW), Feri Amsari (Dosen FH Andalas), Teten Masduki (Sekjen TII), dan Zainal Arifin Mochtar (Direktur Pukat UGM).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.