Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seribu Hari Gus Dur

Kompas.com - 25/09/2012, 03:50 WIB

Oleh Salahuddin Wahid 

Pendeta Dr Wismoady Wahono pada tahun 1974 mendapat tamu. Memperkenalkan diri sebagai Abdurrahman Wahid dari Pesantren Tebuireng, tamu itu minta dikenalkan dengan para tokoh Gereja Kristen Jawi Wetan.

Maka Pendeta Wismoady mengajak Gus Dur ke sejumlah kota di Jawa Timur untuk bertukar pikiran tentang berbagai masalah dan apa yang bisa dilakukan bersama.

Itulah awal dari dialog positif tokoh lokal umat Islam dengan tokoh lokal umat Kristen. Saat itu Gus Dur tinggal di Pesantren Denanyar Jombang dan menjadi Sekretaris Pesantren Tebuireng. Prakarsa Gus Dur menjadi lebih penting dan strategis mengingat pada akhir 1960-an beredar info bahwa pihak Kristen akan meningkatkan kristenisasi. Tampak pandangan Gus Dur yang jauh ke depan dan keberaniannya untuk menentang arus besar umat dan tokoh Islam saat itu.

Kini, empat puluh tahun setelah Gus Dur memulainya, kita menyaksikan bahwa dialog antaragama sudah meluas, tetapi kita juga masih menyaksikan penolakan terhadap gagasan pluralisme yang diusung Gus Dur. Banyak pihak menyamakan pluralisme dengan pluralisme agama yang oleh Majelis Ulama lndonesia (MUI) diartikan bahwa semua agama adalah benar.

Pembela kelompok lemah

Pertengahan 1990-an, Gus Dur pernah menjadi saksi ahli di pengadilan negeri (PN) mengenai sepasang pemeluk Konghucu yang pernikahan berdasar agamanya tidak diakui. Gus Dur menyatakan bahwa hak sipil pemeluk agama apa pun harus diakui dan dilindungi oleh negara. PN dan pengadilan tinggi (PT) menolak gugatan pemeluk Konghucu itu. Saat Gus Dur menjadi Presiden, Mahkamah Agung memenangkan si penggugat.

Gus Dur juga pernah menjadi saksi ahli yang meringankan dalam persidangan di PN Malang terkait kasus shalat dua bahasa yang dilakukan Roy Yusman. Saksi ahli yang memberatkan, antara lain KH Hasyim Muzadi. Dalam persidangan, Gus Dur mengatakan bahwa pernyataan MUI sebagai pegangan mengajukan Roy ke pengadilan, bertentangan dengan UUD. Roy tidak bisa dikenai pasal penodaan agama. Kalau tindakan Roy dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, perlu ditunjukkan kitab fikih mana yang menyatakan begitu. Akhirnya Roy dijatuhi hukuman tidak jauh beda dengan masa penahanan, tidak kena pasal penodaan agama.

Pembelaan lain terhadap kelompok lemah adalah pembelaan terhadap hak hidup warga Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Saking jengkelnya, pernah terlontar niat Gus Dur untuk membubarkan MUI dan mengatakan bahwa Menteri Agama kurang paham UUD terkait sikapnya kepada warga JAI. Saya hadir dalam acara peringatan HUT Gus Dur di Ciganjur pada 2005, yang dikemas menjadi forum pembelaan Ahmadiyah.

Bersama Dawam Rahardjo, Musdah Mulia, Maman Imanul Haq, dan beberapa pihak lain, pada 2009 Gus Dur mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama. Setelah Gus Dur wafat, MK menolak gugatan pembatalan tersebut, tetapi menyetujui sedikit perubahan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com