Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tajul Muluk Minta MK Tegakkan Kebebasan Berkeyakinan

Kompas.com - 14/09/2012, 19:10 WIB
Aditya Revianur

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (14/9/2012) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pengujian undang-undang tersebut dimohonkan oleh ustad Tajul Muluk yang merupakan ulama muslim Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur, yang memohon MK untuk menegakkan kebebasan menganut kepercayaan aliran tertentu dalam beragama. Pada kesempatan tersebut Tajul Muluk diwakili oleh para kuasa hukumnya mengingat kini yang bersangkutan menjadi terpidana perkara penistaan agama yang dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Sampang.

"Pemohon (Tajul Muluk) berpendirian, penerapan dan penggunaan undang-undang KUHP dan Penodaan Agama tanpa terlebih dahulu ada surat keputusan bersama tiga menteri, Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri yang diuji di Mahkamah ini nyata-nyata telah merugikan hak-hak konstitusional Para Pemohon. Selain itu kebebasan berkeyakinan tidak ditegakkan dan pemohon terintimidasi karena penggunaan kedua undang-undang itu," ujar kuasa hukum pemohon Ahmad Taufik Pasaribu, di Gedung MK, Jakarta, Jumat (14/9/2012).

Taufik berpendapat, perbedaan mazhab dalam ajaran agama Islam bukanlah hal yang baru. Namun, lanjutnya, apabila perbedaan tersebut sampai dijadikan orang terpidana maka hal tersebut jelas merupakan perilaku keji. Sementara, dia menyatakan pada para hakim Konstitusi, jika tidak pernah ada surat keputusan bersama tiga menteri, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung yang menyatakan Syiah adalah ajaran sesat dan menyimpang.

Sementara itu, kuasa hukum pemohon Iqbal Tawakkal Pasaribu berpendapat, jika Pasal 156a KUHP tidak ditafsirkan oleh Mahkamah, maka dikhawatirkan banyak guru, tokoh agama dan para pendakwah yang akan dijerat oleh aparat penegak hukum di berbagai daerah. Sebab, aparat bertindak berdasarkan pada penggunaan UU KUHP tanpa didahului oleh SKB tiga menteri.

Sebab itu, akan semakin banyak warga negara yang mengeluarkan pendapat mengenai keyakinannya menjadi terhalang karena penggunaan UU KUHP yang disalahartikan para aparat. "Kondisi ini dapat saja terjadi daerah-daerah di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia, jikalau negara tidak dapat menunjukkan otaritasnya terhadap urusan agama, maka hal ini menunjukan negara lemah dan ini mengancam disintegrasi bangsa dan negara," kata Iqbal.

Iqbal menambahkan, ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/ atau penodaan agama yang bersifat multitafsir terbukti mendiskriminasi kelompok yang berkeyakinan berbeda dengan mayoritas.

Norma materiil yang diajukan Tajul Muluk dan kuasa hukumnya adalah Pasal 156a KUHP yang menyebutkan bahwa 'Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan pebuatan; a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa'.

Sedangkan, norma materiil selanjutnya adalah Pasal 4 UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 yang berisi mengenai 'Pada Kita Undang-Undang Hukum Pidana diadakan Pasal baru yang berbunyi sebagaimana Pasal 156a KUHP.

Adapun norma yang dijadikan sebagai penguji yang mengacu pada undang-undang dasar 1945 adalah Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Pada undang-undang tersebut, pada intinya menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan kebebasan menganut beragama dan berkeyakinan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

    Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

    Nasional
    TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

    TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

    Nasional
    Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

    Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

    Nasional
    Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

    Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

    Nasional
    Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

    Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

    Nasional
    Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

    Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

    Nasional
    Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

    Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

    Nasional
    Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

    Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

    Nasional
    Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

    Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

    Nasional
    Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

    Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

    Nasional
    Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

    Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

    Nasional
    Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

    Nasional
    TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

    TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

    Nasional
    Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

    Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

    Nasional
    Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

    Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com