Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelaku Teror Dicari dari Sosok "No Body"

Kompas.com - 07/09/2012, 11:38 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Tidak ada yang pernah menyangka kalau Firman (19), Farhan (19), Muchsin (19), dan Bayu (24) terlibat dalam kelompok pelaku teror di sejumlah pos kepolisian di Solo, Jawa Tengah. Bibi Firman bahkan berteriak histeris manakala tim Densus 88 Antiteror mendatangi rumahnya dan membawa Firman, Rabu (5/9/2012) pagi.

Demikian pula dengan Muhamad Thorik yang diduga menjadi pemilik bahan-bahan peledak yang ada di rumahnya di kawasan Tambora, Jakarta Barat. Ibunda Thorik sama sekali tidak menyangka bahwa putranya diduga menjadi salah satu pelaku teror. Thorik di keluarganya terkenal tertutup. Orang-orang terdekat pelaku teror memang kerap tak menyangka anggota keluarganya bisa sampai terlibat kelompok teror hingga tega membunuh orang.

Menurut Kepala Bagian Psikolog Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Arif Nurcahyo, kasus terorisme memiliki karakteristik khusus jika dilihat dari segi psikologi perekrutan anggota atau calon "pengantin" untuk pelaku bom bunuh diri. Mereka sudah memiliki pola tersendiri yang akan terus berubah agar tidak mudah terendus kepolisian. Namun, secara garis besar, kelompok teror lebih memilih pendekatan personal terhadap individu yang tidak terlalu mencolok di satu lingkungan masyarakat, individu yang pendiam, hingga pribadi yang dinilai "no body" atau bukan siapa-siapa.

"Mereka merektrut cenderung yang pendiam, yang dikucilkan sehingga jika ada yang diculik atau diambil tidak ada yang peduli. Mengambil orang-orang 'no body' di lingkungannya hingga yang tersisihkan," ucap Yoyo.

Dia mengatakan, pengaruh akan lebih mudah masuk terhadap orang-orang seperti itu. Di kelompok barunya, mereka mendapatkan penerimaan, penghargaan, dan kepercayaan diri karena dinilai spesial dan berbeda dari orang lain pada umumnya oleh kelompok teror.

"Kelompok ini menjadikan mereka 'somebody'," tutur Yoyo.

Selain itu, upaya pencucian otak dengan pemahaman ekstrem tertentu juga akan lebih mudah diterima oleh orang-orang yang memang memiliki rasa dendam dan pernah tersakiti oleh institusi buatan pemerintah. Misalnya, anak pelaku teror yang mengetahui ayahnya dihukum mati karena aksi terorisme bisa jadi timbul dendam dan mengikuti jejak sang ayah.

Pola hidup nomaden

Tidak diketahui pasti bagaimana proses penanaman paham ekstrem bisa sampai diresapi pelaku-pelaku teror. Namun, jika seseorang sudah masuk ke dalam kelompok itu, maka tanda-tandanya sudah bisa terlihat. Menurut Yoyo, pelaku teror cenderung memiliki pola hidup nomaden atau berpindah-pindah dan penyendiri.

"Biasanya tidak akan masuk mal, tidak akan ikut berkelompok. Sebab, ada yang meyakinkan kalau mereka tidak boleh memakai produk ini itu. Mereka biasanya punya pula hidup sendiri. Dia membatasi omongan," katanya.

Sementara secara emosional, pelaku teror sangat tenang dan dingin. Emosi mereka harus dijaga karena mereka percaya dirinya lebih spesial dibandingkan orang lain. "Karena merasa lebih daripada yang lain, harus menjaga wibawa terhadap kepercaayaan yang diberikan kepadanya," ujar Yoyo.

Deradikalisasi

Untuk mengembalikan pelaku teror, faktor keluarga dan lingkungan memiliki peran penting. Deteksi dini pihak keluarga yang terpenting. Ketika menyadari ada anggota keluarganya bersikap janggal, maka dekati dan mulai kembali merangkulnya dan membuat dia penting menjadi bagian di dalam keluarga. Yoyo mengakui bahwa untuk kasus terorisme, hal tersebut memang sangat sulit dilakukan apalagi kalau pelaku teror sudah terlalu jauh didoktrin pemikiran-pemikiran ekstrem.

"Kasus terorisme ini sangat sulit karena berhubungan dengan keyakinan. Namun, tetap keluarga punya peran penting untuk menyadarkan agar dia tidak terlalu jauh," kata Yoyo.

Dia menilai bahwa hukuman mati bagi pelaku teror bisa berpeluang menciptakan dendam bagi keluarga sang teroris. Bisa jadi, anak ikut meneruskan jejak orangtuanya menjadi teroris. Oleh karena itu, Yoyo mengatakan pentingnya proses deradikalisasi tidak hanya kepada pelaku teror tetapi juga kepada keluarganya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com