Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tidak Bisa Tutupi Persoalan Sunni-Syiah

Kompas.com - 07/09/2012, 04:50 WIB

Jakarta, Kompas - Masyarakat Indonesia begitu majemuk dan beragam, karena itu toleransi adalah hal terbaik yang bisa dilakukan untuk menjaga kerukunan sesama umat beragama. Kasus kekerasan di Sampang tidak bisa disederhanakan dengan menyebutnya hanya persoalan keluarga, tetapi ada akar masalah yang menuntut penyelesaian.

”Kita optimistis bisa menyederhanakan masalah itu sebagai masalah keluarga, tapi kita tidak bisa menutupi persoalan Sunni- Syiah,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dalam Silaturahim Tokoh Bangsa ke-4 bertema ”Toleransi di Tengah Keberagaman” yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Jakarta, Kamis (6/9).

Selain Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sebagai tuan rumah, sejumlah tokoh bangsa hadir dalam silaturahim tersebut, antara lain Wakil Ketua PP Muhammadiyah Bambang Soedibyo, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta Franz Magnis-Suseno, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr Martinus D Situmorang, Ketua Umum DPP Partai Hati Nurani Rakyat Wiranto, mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung, pengusaha Sofjan Wanandi, sejarawan Taufik Abdullah, dan Fuad Bawazier.

Menurut Asshiddiqie, modal utama kerukunan hidup berbangsa adalah kerukunan antar dan interumat beragama. Bambang Soedibyo prihatin akan tingginya intoleransi di Indonesia. Hal ini disebabkan masih tingginya ketidakadilan. Selain itu, demokrasi dipersepsikan masyarakat sebagai bebas mengekspresikan kemauannya sehingga terjadi perilaku yang melampaui batas.

”Aparat kepolisian tampak gamang untuk bertindak,” kata Bambang Soedibyo.

Menurut Franz Magnis-Suseno, sebenarnya toleransi di Indonesia masih terbilang tinggi karena sekitar 95 persen masyarakat masih hidup/bekerja/berinteraksi dalam kesatuan.

”Indonesia juga punya aset besar organisasi keagamaan. Kami yang Katolik jika ada masalah tidak mengontak kepolisian, tapi kami pergi ke NU dan Muhammadiyah. Jadi tidak ada kompromi dan jangan biarkan kekerasan. Harus ada pendidikan mengenai toleransi dan menerima perbedaan,” kata Frans Magniz-Suseno.

Mgr Martinus D Situmorang mengatakan, liberalisasi kehidupan membuat demokrasi terkontaminasi dan terdeviasi. Politik seharusnya mengelola dan memperjuangkan kepentingan publik, dan politik tidak kotor. Namun, karena materialisme telah begitu menguasai, politik membuat galau masyarakat. Pendidikan hanya menjadi sekadar formalitas pendidikan dan pembelajaran.

Di tempat terpisah, Menteri Agama Suryadharma Ali menilai akar kerukunan umat beragama di Indonesia sesungguhnya sudah kokoh. Konflik beragama lebih disebabkan provokator.

(INA/LOK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com