Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hakim Minta Jaksa Hadirkan Tjahjo Kumolo

Kompas.com - 03/09/2012, 14:48 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi meminta tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan politisi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo sebagai saksi dalam persidangan terdakwa kasus suap cek perjalanan, Miranda S Goeltom.

Keterangan Tjahjo, yang juga anggota DPR 1999-2004, dianggap penting dalam mencari kebenaran materil terkait keterangan Agus Condro yang mengaku mendengar dari Tjahjo bahwa Miranda bersedia menyiapkan dana Rp 300 juta hingga Rp 500 juta untuk Fraksi PDI Perjuangan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004.

"Walaupun saksi ini tidak ada dalam BAP (berita acara pemeriksaan), mengingat saksi ini sangat penting untuk membuktikan kebenaran materiil," kata Ketua Majelis Hakim, Gusrizal dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (3/9/2012).

Hal ini disampaikan majelis hakim Tipikor menanggapi permintaan tim pengacara Miranda. Atas perintah majelis hakim, tim jaksa penuntut umum KPK menyanggupi untuk memanggil Tjahjo.

"Menurut kami, saksi a de charge (saksi meringankan) adalah hak penasehat hukum. Tapi kalau ini perintah majelis hakim, maka kami akan bantu," kata Ketua Tim JPU, Supardi.

Dalam proses penyidikan di KPK, Tjahjo tidak pernah diperiksa sebagai saksi untuk Miranda. Dengan demikian, keterangan Tjahjo tidak masuk dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

Salah satu pengacara Miranda, Andi Simangungsong sebelumnya menyayangkan tindakan penyidik KPK yang tidak memeriksa Tjahjo dalam proses penyidikan.

"Harusnya melalui metode penyidikan, apabila hanya menyebut ucapan seseorang, kewajiban penyidik panggil Tjahjo dan masukkan keterangannya dalam BAP (berita acara pemeriksaan)," ujarnya, pekan lalu.

Tindakan penyidik KPK yang tidak memeriksa Tjahjo tersebut, katanya, menunjukkan proses penyidikan yang tidak objektif, tendensius, dan cenderung merekayasa dengan sengaja menjerat Miranda.

Pengacara Miranda yang lain, Dodi Abdul Kadir menambahkan, keterangan Agus Condro yang mendengar Tjahjo mengatakan bahwa Miranda bersedia membayar Rp 300 juta hingga Rp 500 juta itu sedianya tidak dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam mengadili perkara Miranda.

"Secara hukum, keterangan Agus itu testimonium de auditu, keterangan yang tidak didengar langsung tapi dari orang lain," ujarnya.

Dengan demikian, keterangan Agus Condro yang tidak didukung keterangan saksi lain, menurutnya,  tidak dapat dijadikan bukti oleh jaksa KPK. Menurut Dodi, selain Agus, tidak ada saksi lain yang mendengar Tjahjo mengatakan bahwa Miranda bersedia menyiapkan uang.

Anggota DPR 1999-2004 dari Fraksi PDI-Perjuangan yang lain, Dudhie Makmun Murod saat bersaksi untuk Miranda, mengaku, tidak pernah mendengar Tjahjo mengatakan Miranda sanggup menyediakan uang Rp 300 juta hingga Rp 500 juta. Saat bersaksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu, Agus Condro mengaku mendengar ada uang Rp 300 juta hingga Rp 500 juta yang disipakan Miranda.

Rencana kucuran uang dari Miranda itu didengar Agus dalam rapat kelompok fraksi (poksi) PDI-Perjuangan di Komisi IX, sebelum uji kelayakan dan kepatutan calon DGS BI 2004.

"Saat itu, pimpinan, Tjahjo Kumulo, mengatakan Miranda bersedia kasih Rp 300 juta. Tapi, kalau kita minta Rp 500 juta, dia (Miranda) tidak keberatan," ujar Agus, awal Agustus lalu.

Adapun Tjahjo menjadi pimpinan Fraksi PDI Perjuangan saat itu. Agus mengungkapkan, Fraksi PDI Perjuangan sepakat untuk memilih Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004. Selain ungkapan Tjahjo, Agus mendengar celetukan rekan separtainya yang juga menyinggung soal uang dari Miranda.

"Kata teman saya itu, kalau dia bisa menyiapkan Rp 500 juta, kenapa kita minta Rp 300 juta? Bodoh itu," ujar Agus menirukan teman separtainya itu.

Adapun, Miranda didakwa menyuap anggota DPR 1999-2004 terkait pemilihannya sebagai DGS BI 2004. Miranda bersama-sama Nunun Nurbaeti atau masing-masing bertindak sendiri, memberi cek perjalanan Bank Internasional Indonesia (BII) senilai Rp 20,8 miliar melalui Ari Malangjudo kepada anggota DPR 1999-2004, antara lain Hamka Yandhu (Fraksi Partai Golkar), Dudhie Makmun Murod (Fraksi PDI-P), dan Endin Soefihara (Fraksi PPP). Cek Perjalanan senilai Rp 20,8 miliar tersebut merupakan bagian dari total 480 cek perjalanan BII senilai Rp 24 miliar.

Kasus dugaan suap cek perjalanan yang terungkap sejak tahun 2008 ini berawal dari "nyanyian" Agus Condro. Mantan politisi PDI Perjuangan itu mengaku menerima sejumlah cek perjalanan yang ia duga terkait dengan pemenangan Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004. Sebanyak lebih dari 30 anggota DPR 1999-2004 yang menerima cek perjalanan, termasuk Agus, sudah dihukum. Demikian juga dengan Nunun Nurbaeti yang dianggap terbukti sebagai penyuap.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

    Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

    Nasional
    PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

    PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

    Nasional
    Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

    Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

    Nasional
    Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

    Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

    Nasional
    Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

    Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

    Nasional
    MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

    MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

    Nasional
    PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

    PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

    Nasional
    Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

    Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

    Nasional
    MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

    MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

    Nasional
    Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

    Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

    Nasional
    Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

    Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

    Nasional
    Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

    Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

    Nasional
    Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

    Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

    Nasional
    FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

    FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

    Nasional
    Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

    Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com