Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ziarah dalam Jejak Pluralisme Gus Dur

Kompas.com - 07/08/2012, 15:50 WIB

Oleh Idha Saraswati dan Herpin Dewanto

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sudah tiada, tetapi sosoknya terus menarik simpati. Setiap hari ribuan orang dari beragam latar belakang menziarahi makamnya. Di depan pusara Gus Dur, mereka berdampingan, berdoa dalam kebersamaan.

Makam Gus Dur di bagian belakang pekarangan Pondok Pesantren Tebuireng di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, tak pernah sepi. Di kompleks makam keluarga seluas 100 meter itu, Gus Dur—meninggal pada 30 Desember 2009—dibaringkan berdampingan dengan kakeknya, KH Hasyim Asy’ari, dan ayahnya, KH Wahid Hasyim.

Seperti Jumat (20/7), seusai shalat Jumat, peziarah dan santri muda berdampingan di depan makam Gus Dur. Dengan kepala menunduk, mereka khusyuk mengucapkan doa.

Lalan (42), peziarah dari Gresik, Jatim, berdoa di sisi kanan makam. Ia datang bersama keluarganya, menumpang minibus. ”Saya mengantar anak dan keponakan yang mau mondok di Lamongan. Memang direncanakan shalat Jumat di sini, sekalian ziarah ke makam Gus Dur,” ujarnya.

Lalan mengaku amat menghormati Gus Dur. Selain karena sesama Muslim, ia juga mengagumi Gus Dur karena bisa merangkul semua umat, baik Muslim maupun non-Muslim.

Peziarah lainnya, Sutrisno (40), guru di Pondok Pesantren Al Qodiri 4 Jember, Jatim, datang bersama rekannya. Ia mengaku kerap ke makam Gus Dur dan mengajak siswanya berziarah. ”Akhlaknya baik, orangnya adil. Banyak yang bisa dikagumi dari Gus Dur. Bagi saya, dia seorang wali,” katanya.

Penghormatan

KH Salahuddin Wahid atau Gus Solah, adik Gus Dur yang kini mengelola Pondok Pesantren Tebuireng, menuturkan, keluarganya tak pernah membayangkan makam itu akan didatangi begitu banyak peziarah. ”Fenomena ini jarang terjadi. Biasanya yang diziarahi itu makam wali atau kiai besar yang sudah lama meninggal,” ujarnya.

Pada hari biasa, peziarah bisa mencapai 2.000 orang per hari. Jumlah itu melonjak hingga puluhan ribu orang pada hari libur dan menjelang Ramadhan. Tahun 2011, peziarah diperkirakan mencapai satu juta orang.

Mereka datang tak mengenal waktu sehingga pengelola pesantren harus menutup gerbang saat subuh dan maghrib. ”Supaya peziarah tidak rebutan kamar mandi dengan santri,” kata Gus Solah.

Semasa hidupnya, Gus Dur juga kerap berziarah ke makam kiai. Setiap datang ke suatu daerah, ia akan menanyakan makam tokoh yang dikeramatkan masyarakat dan mendatanginya.

Peziarah makam Gus Dur datang tak hanya dari umat Islam. Ada rombongan peziarah dari wihara, gereja, dan kelenteng. Mereka datang untuk menyampaikan rasa hormat kepada Gus Dur. Rasa hormat itu muncul karena mereka menjadi saksi sepak terjang Gus Dur.

Sikap terbuka

Kiprah Gus Dur—lahir di Denanyar, Jombang, 7 September 1940 (versi lain menyebut 4 Agustus 1940)—dikenal luas saat terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tahun 1984. Sebagai pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, dia adalah sosok yang menghormati kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Ia tidak hanya bicara, tetapi juga bertindak. Ia berani ”pasang badan” untuk melindungi kelompok minoritas yang ditindas.

Gus Solah mencontohkan, pada masa Orde Baru, perkawinan dengan memakai tata cara Konghucu dilarang pemerintah. Namun, Gus Dur berani saat diminta menjadi saksi perkawinan itu. ”Saya kalau ditanya soal perkawinan itu pasti mendukung, tetapi sebagai saksi pada saat itu, saya belum tentu berani,” tuturnya.

Menurut dia, sikap terbuka menerima perbedaan yang ditunjukkan Gus Dur itu memang dipraktikkan di dalam keluarga. Kakek, ayah, dan ibunya memberikan contoh itu. Sejak kecil mereka dibebaskan membaca berbagai jenis bacaan sehingga memiliki wawasan yang terbuka.

Greg Barton, peneliti Islam dari Australia yang menulis biografi Gus Dur, juga menyinggung hal itu dalam bukunya. Gus Dur tumbuh dalam lingkungan yang terbuka. Ayahnya, Wahid Hasyim, sangat menghargai kebudayaan Islam tradisional. Namun, ia memiliki lingkup pergaulan yang luas sehingga rumahnya dikunjungi tamu dari berbagai golongan, termasuk orang Eropa.

Gus Dur konsisten menghormati kebebasan beragama. Pada 1989, ia ikut mengajukan gugatan terhadap undang-undang penodaan agama yang disahkan pada 1965. Undang-undang itu dinilai tidak sesuai perkembangan zaman.

Ia juga mendukung pluralisme meskipun itu sensitif. ”Bagi Gus Dur, pluralisme bukan menilai semua agama sama. Bagi Gus Dur, agama yang paling benar ya Islam, tetapi ia menghormati yang lain,” kata Gus Solah.

Dalam masa kepresidenannya yang singkat, 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001, Gus Dur melakukan banyak gebrakan. Salah satu yang selalu dikenang adalah keputusannya mencabut pelarangan budaya, bahasa, dan adat istiadat Tionghoa.

Dengan keputusan itu, warga Tionghoa yang selama 30 tahun hidup dalam tekanan bisa bergerak lebih bebas mengekspresikan identitas mereka. Liem Ou Yen, tokoh Paguyuban Masyarakat Tionghoa Surabaya, menuturkan, warga Tionghoa tak bisa melupakan jasa Gus Dur. Mereka kini bisa merayakan Imlek.

Sebagai bentuk terima kasih, lanjut Liem, ia dan warga Tionghoa lain kerap berziarah ke makam Gus Dur. Liem, yang beragama Buddha, sudah tiga kali ke makam itu.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com