Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Parpol dan Dusta Politik

Kompas.com - 18/07/2012, 02:15 WIB

W RIAWAN TJANDRA

Publik dibuat bingung melihat aksi saling melempar kesalahan antara Anas Urbaningrum sang Ketua Umum Partai Demokrat dan Ignatius Mulyono, salah seorang politisi senior anggota DPR dari unsur Partai Demokrat.

Mana benar dan mana salah sampai saat ini belum bisa ditentukan. Anggota Komisi II DPR, Ignatius Mulyono, mengakui tak pernah dapat perintah dari Anas Urbaningrum untuk mengurus sertifikat tanah Hambalang. Padahal, sebelumnya, dia pernah mengatakan dapat perintah dari Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum untuk mengurus sertifikat tanah di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

Saat diperiksa KPK, Anas membantah berperan mengurus sertifikat proyek senilai Rp 1,2 triliun. Anas membantah pernah menyuruh Ignatius mengurus sertifikat tanah Hambalang yang kini bermasalah. Bahkan, Anas mengaku tidak tahu apa dan bagaimana proyek Hambalang. Hal itu berbeda dengan keterangan Ignatius yang menyatakan, dirinya memang mengurus tanah untuk proyek Hambalang. Namun, dia menyatakan, yang diurusnya bukanlah sertifikat tanah, melainkan surat keputusan (SK) hak pakai tanah Hambalang dari Badan Pertanahan Nasional. SK tersebut, menurut Ignatius, diterima oleh Anas untuk proyek Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Berbagai peristiwa hukum yang menjerat sederetan tokoh papan atas partai politik selama ini seakan menguji premis bahwa politik itu dusta. Tanpa dusta tak ada politik. ”Jika syarat masuk surga itu harus masuk parpol, saya lebih memilih tak mau menjadi anggota parpol.” Pernyataan Thomas Jefferson itu mendekati sinisme yang berkembang di Indonesia saat ini, yang memandang parpol dalam konotasi peyoratif. Jose Maria Maraval (2008) menyatakan bahwa bagaimanapun parpol tetap punya kedudukan sangat penting dalam sistem demokrasi suatu negara, karena mampu menghubungkan rakyat dengan birokrasi.

Wajah parpol di negeri ini kini seakan menampakkan ”kebebalan keburukan” (banality of evil). Politik yang seharusnya menjadi arena pertukaran gagasan bijak, perjuangan aspirasi rakyat, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban publik secara kasatmata seakan-akan terlihat telah diselewengkan oleh parpol yang menjadikannya sebagai arena penampakan kedangkalan berpikir, transaksi kepentingan pragmatis, korupsi, pengingkaran, dan pembohongan publik. Padahal, konstitusi republik ini telah menisbatkan parpol sebagai pintu utama bagi masuknya politisi ke gedung wakil rakyat atau duduknya seseorang menjadi kepala eksekutif di pemerintahan pusat dan daerah. Tampilnya calon-calon independen untuk bisa duduk sebagai kepala eksekutif pada masa lalu harus melalui perjuangan panjang melalui proses uji materi di Mahkamah Konstitusi terhadap berbagai produk undang-undang pemilu/pilkada.

Etika politik mandul

Etika politik tak lagi sahih untuk mengatur permainan dan pertukaran arus kekuasaan politik. Hukum kian menjadi ajang komoditas persaingan politik. Permainan politik di aras kekuasaan telah menginstrumentasikan hukum sebagai sarana kekuasaan/kepentingan. Daya ikat salah satu pasal di awal konstitusi yang menegaskan bahwa negara ini berdasarkan hukum tak lagi punya makna, ketika hukum kehilangan daya kuasanya di arena transaksi politik.

Aristoteles membedakan manusia dengan binatang melalui kemampuan masing-masing dalam membedakan yang baik dan buruk, yang adil dan yang zalim. Hal itu memperoleh puncak ekspresinya pada negara yang menjadi institusi tertinggi yang dapat membedakan kebaikan dengan keburukan. Pada titik itulah seharusnya elite partai mestinya mampu tampil sebagai garda res publica (urusan publik), bukannya justru menjadi simpul terlemah dari kehidupan negeri ini.

Kehidupan perpolitikan seharusnya tak dibangun di atas dusta karena parpol seharusnya menjadi saluran untuk mengonstruksi akuntabilitas, responsibilitas, dan kejujuran. Perbaikan tambal sulam terhadap berbagai UU yang mengatur sistem penyelenggaraan pemilu dan parpol tidak akan membawa pengaruh berarti manakala masih terjadi mediokritas dan dekadensi kehidupan politik. Kehidupan negara yang miskin etika politik dan absennya kejujuran dalam kehidupan politik akan membawa pada jurang kematian demokrasi, karena realitas tersebut dapat membawa apatisme politik bagi rakyat.

Pemilu tak mampu jadi sarana untuk memberikan apresiasi kepada kader partai yang jujur, bersih, dan sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi rakyat, dan sebaliknya menghukum kader partai yang ketika duduk di kursi representasi politik di parlemen ataupun mengepalai eksekutif ternyata bertindak khianat terhadap kepercayaan konstituen atau pemilih. Pada saat itulah, pemilu tak lebih sebagai legalisasi sebuah dusta dari permainan para broker politik dan elite politik yang hanya sibuk membayar utang-utang politik di kala kampanye dan abai terhadap aspirasi pemilih yang seharusnya diperjuangkannya.

Politik yang dibangun di atas dusta telah mengabaikan keselamatan republik dan mempertaruhkan nasib negeri ini dalam transaksi kekuasaan. Kekuasaan politik yang ditopang oleh dusta mengingatkan pada filsafat politik Machiavelli dalam bukunya The Prince yang menyatakan, untuk menjadi penguasa yang cerdik harus tahu menggunakan cara-cara binatang dan cara-cara manusia untuk bisa berkuasa. Penguasa bagi Machiavelli tak boleh takut sedikit pun menghadapi tuduhan melakukan kejahatan, kalau kejahatan itu perlu dilakukan demi keselamatan negara. Namun, serapi apa pun dusta menopang kekuasaan politik, pepatah klasik telah mengingatkan: you can fool some of the people all the time, you can fool all the people some of the time. But you cannot fool all the people all the time!

W RIAWAN TJANDRA Direktur Program Pascasarjana dan Dosen FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com