Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mutiara Terpendam dalam Debu...

Kompas.com - 15/07/2012, 03:50 WIB

Desa Ungga, Kecamatan Praya Barat Daya, Lombok Tengah, harus dicapai lewat jalan tanah berdebu, kira-kira 5 kilometer dari tepi aspal jalur Mataram-Praya. Sepanjang jalan, padi-padi di sawah baru saja dipanen. Sementara perbukitan di selatan desa mulai gersang dilanda musim kemarau.

Di situ setidaknya bermukim lebih dari 200 perajin perak. Semua bermula dari perantau seperti Rabiah (50). Sekitar awal tahun 1990-an, Rabiah merantau ke Bali. Ia bekerja di sentra kerajinan perak Bali, Desa Celuk dan Singapadu, Gianyar. Karena dianggap cepat menyerap ilmu merangkai perak, Rabiah kemudian membawa adiknya dan kawan-kawan sedesanya, seperti Tamrin (36). Sampai kini Rabiah tak pernah kembali ke desanya. Tamrin-lah yang kemudian memutuskan kembali ke Desa Ungga dan membawa keahlian mendesain perhiasan perak. Ia melihat bahwa Lombok memiliki potensi bahan baku yang besar. ”Di sini ada kerang mutiara yang mudah didapat,” katanya.

Tamrin tak hanya menerima order dan mendesain perhiasan untuk keperluan sendiri, ia kemudian menyebarkan ilmu desain itu kepada pemuda sedesa, seperti Farid Rizki (32). Berkat Tamrin, kini lebih dari 75 persen pemuda Desa Ungga menggantungkan hidupnya sebagai perajin perak dan kerang mutiara. Bahkan, desa terpencil itu kini dikenal sebagai salah satu sentra kerajinan perak di Lombok, selain Desa Kamasan, Kota Mataram.

Para perajin, seperti Tamrin, menciptakan desain-desain perhiasan secara mandiri. Dalam buku polanya, ia menggambar varian-varian liontin, cincin, gelang, anting-anting, serta kalung berbahan perak dengan hiasan mutiara, kerang, dan batu akik. ”Semua saya kutak-katik sendiri. Kalau nanti ada galeri atau art shop tertarik melihat gambarnya, baru saya buatkan,” kata Tamrin.

Farid juga tak kalah. Meski ia tak pernah mengenyam ”pendidikan” desain perak di Bali, ia juga mulai mendesain perhiasan sendiri. ”Di sini kalau tak punya desain baru ciptaan sendiri dan cuma mengandalkan pesanan, pasti akan kalah bersaing,” tutur Farid bangga. Ia sudah beberapa kali ikut serta dalam kompetisi desain perhiasan. ”Namun, masih jadi juara harapan saja,” tambahnya.

Perhiasan hasil rancangan Tamrin dan Farid di tingkat perajin berharga Rp 100.000 sampai Rp 2.000.000. ”Semua tergantung dari kualitas bahan bakunya, yakni perak dan mutiara. Kalau kualitas mutiaranya bagus, harganya pasti akan sedikit lebih tinggi,” kata Tamrin. Padahal, jika kita membeli perhiasan serupa di tingkat artshop di Kota Mataram, harganya sudah berkali lipat.

Kini meski terlihat miskin, para lelaki di Desa Ungga setidaknya memiliki pilihan lain selain menjadi buruh serabutan atau migran ke luar negeri. Di desa kecil dan berdebu ini terpendam mutiara keterampilan yang jika diasah bisa menjadi potensi dahsyat untuk melakoni hidup.(CAN/RUL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com