Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menakar Otonomi Khusus Aceh dan Papua

Kompas.com - 03/07/2012, 04:08 WIB

Bagaimana mungkin membayangkan kesejahteraan yang dijanjikan untuk Papua diucapkan dari mulut seorang tentara? Sesat pikir ini muncul di semua elemen di tingkat pemerintah. Belum ada upaya serius menciptakan kesejahteraan di Papua.

Problema itu muncul salah satunya karena persoalan identitas di Papua belum tuntas. Dana otsus sejak 2002 tak hanya gagal menghentikan tuntutan merdeka, tetapi justru menyebar di tingkat publik. Jika dulu merdeka hanya tuntutan elite, sekarang menjadi menu obrolan di tingkat rakyat.

Wewenang yang mengatur tentang Papua justru menimbulkan masalah baru terkait perebutan wewenang atau saling lempar tanggung jawab. Pembentukan PP sebagai tindak lanjut UU otsus sangat lambat. Selain itu, perdasus dan perdasi penting juga gagal dibuat. Jakarta menunjuk Papua tak becus memanfaatkan limpahan kewenangan, Papua menunjuk Jakarta karena tak serius menerbitkan aturan pelaksanaan.

Di Jakarta, tak bisa ditemukan pemerintah pusat. Ketika muncul masalah Papua, tak jelas pembagian kewenangan antara UP4B, Kemendagri, Desk Papua di Menko Polhukam, staf khusus Velix Wanggai, atau utusan khusus Farid Husain. Seluruh lembaga ini tak saling sapa dan duduk bersama mendiskusikan persoalan Papua. Justru aparat keamanan yang dikirim.

Persoalan wewenang juga muncul antara provinsi dan kabupaten/kota: tergantung mana paling menguntungkan. Provinsi berpegang pada UU Otsus, kabu- paten/kota merujuk ke UU 32/2004. Sebabnya, materi UU otsus kurang lengkap dan tak ada peraturan pelaksanaannya.

Pembentukan lembaga yang berkaitan dengan adat di Papua justru menimbulkan masalah baru dan menjadi arena politik elite. Penundaan pilkada gubernur Papua disebabkan oleh penafsiran UU Otsus yang dinilai mengambil wewenang KPUD. Kata ”orang asli Papua” akan selalu menimbulkan persoalan. Tindakan afirmatif ras Melanesia justru bertentangan dengan semangat kewarganegaraan yang seharusnya menjadi dasar pembentukan negara modern.

Dana otsus yang demikian besar setelah sepuluh tahun tak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Indeks Pembangunan Manusia dan seluruh indeks capaian MDG Papua tetap berada di peringkat terbawah. Ironisnya, perdasus tentang dana otsus tak dibuat. Evaluasi pemerintah terhadap otsus yang seharusnya dilakukan tiga tahun setelah diberlakukan: sampai kini tak ada.

Menariknya, dana otsus tetap disalurkan. Di tingkat pemerintah pusat, tak ada keseriusan menyelisik dana otsus. Temuan BPK ada penyelewengan dana otsus, Rp 380 miliar, tak pernah diusut tuntas. Bagi elite Papua, dana ot- sus dianggap uang mahar dan uang darah: tak perlu dipertanggungjawabkan. Baik pemerintah pusat maupun elite Papua sepakat, dana otsus tak perlu diusik karena itulah sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka.

Konsensus nasional

Langkah pertama menyelesaikan otsus Papua: bangun konsensus nasional dalam dua aras! Di tingkat pusat, tatalah desain besar kesejahteraan Papua! Bila UU 21/2001 tak lagi disepakati, buat regulasi baru yang diberlakukan konsisten. Di Aceh perlu tiga regulasi otsus untuk sampai pada tahap sekarang. Kedua, elite dan masyarakat Papua membentuk konsensus terkait mekanisme kepemimpinan. Kepemimpinan harus membentuk kerucut, tak seperti trapesium sekarang.

Kegagalan desentralisasi asimetris ini hanya memberi dua pilihan terakhir: menjadi federal atau merdeka. Bukan pilihan ideal untuk NKRI. Dalam diskusi di UGM muncul istilah kakak dan adik. Papua kakak dan Aceh adik berdasarkan pelaksanaan otsus. Kasih orangtua lebih kepada adik. Saatnya mendorong orangtua tak lagi pilih kasih.

Bayu Dardias Ketua Tim Kajian Otsus Aceh Papua Fisipol UGM-TIFA 2012

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com