Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Superjet 100, N-2130, dan Penerbangan Masa Depan

Kompas.com - 16/05/2012, 02:41 WIB

NINOK LEKSONO

”Penaklukan udara akan terbukti—pada akhirnya—sebagai kemenangan manusia yang paling agung dan paling megah" (Claude-Graham White, perintis penerbangan, 1914, dalam ”Flight: The Complete History”, RG Grant, 2007).

Sementara upaya penyingkapan tabir tragedi Sukhoi Superjet 100 menunggu penyelidikan terhadap kotak hitam, industri kedirgantaraan dan aviation enthusiast tak mau terpaku pada satu-dua musibah. Sebagai bagian dari khazanah pengetahuan, pikiran acap tergoda untuk membuka buku-buku seperti novel Pilot Error (karangan Tosh MacIntosh, 2011) atau buku analisis dengan judul sama (ditambah subjudul The Anatomy of a Plane Crash) karya Phaedra Hise.

Dalam buku terakhir dikisahkan bagaimana penulis menyusuri jejak penerbangan pesawat Grumman Traveller yang mengalami musibah fatal. Penulis menyimpulkan bahwa seorang pilot yang sangat terlatih baik pun bisa terpeleset dalam satu kesulitan akibat kesalahan yang tampaknya tidak berarti, tetapi lalu memicu kesalahan lain yang berlanjut pada rentetan kejadian berujung kecelakaan fatal.

Memang dalam kenyataannya, pencapaian manusia dalam penaklukan dirgantara menelan korban jiwa, tidak hanya jiwa para perintis, tetapi juga jiwa penumpang yang menikmati kemajuan penerbangan ini. Membaca buku Terror in the Skies: The Inside Story of the World’s Worst Air Crashes (David Grayson, 1989), pembaca bisa menyimak pelbagai kisah musibah penerbangan dengan aneka penyebab, mulai dari ban meletus saat lepas landas, dua mesin terbakar saat badai guntur, hingga salah jalur (lalu) ditembak pesawat tempur.

Namun, masih dalam suasana duka musibah Sukhoi Superjet 100, penulis ingin mengajak pembaca terbang tinggi dan meyakinkan bahwa penerbangan adalah pendorong kemajuan peradaban yang dari waktu ke waktu diupayakan tidak hanya lebih hemat bahan bakar, atau ruang kabin lebih nyaman, tetapi juga yang pertama-tama adalah lebih aman untuk dipergunakan.

Sejenak, saat mengenang kembali Sukhoi Superjet 100, ingatan kembali melayang pada kemampuan bangsa kita membuat pesawat terbang. Seperti dikenang kembali oleh BJ Habibie, presiden ke-3 yang pakar aeronautika, kalau saja akhir tahun 1990-an ekonomi Indonesia baik-baik saja dan tidak dilanda krisis, saat ini Indonesia sudah bisa membuat jet komersial N-2130 berpenumpang 100 orang yang sekelas Sukhoi Superjet 100 atau E-190 Embraer atau CRJ-1000 Bombardier.

Impian membuat jet tersebut masih hidup di kepala Habibie dan anak-anak intelektualnya, tetapi sulitnya menyediakan biayalah yang kini terus menjadi kendala untuk mewujudkan impian tersebut.

Setelah Dreamliner dan Superjumbo

Bahwa industri kedirgantaraan tidak mengenal patah semangat ada bukti nyata, yakni munculnya pesawat penumpang baru yang revolusioner, seperti jet Superjumbo Airbus A-380 dan Boeing 787 Dreamliner.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com