Jakarta, Kompas -
”Saya lebih senang partai kita biarkan saja karena nanti akan mengkristal sendiri. Jika partai hanya dua: partai berkuasa dan partai oposisi, apa kita juga bisa seperti ini? Saya rasa bukan partainya yang bermasalah, tetapi orangnya yang bermasalah,” kata peneliti Pusat Kajian FISIP Universitas Indonesia, Prof Dr
Pada diskusi yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Pusat Partai Damai Sejahtera tersebut mengemuka beberapa pendapat. Jika ingin menyederhanakan partai dan supaya tidak banyak fraksi di DPR sehingga sulit membuat keputusan, Ibrahimsyah mengatakan, seharusnya fraksi di DPR dihapus saja. Sebaiknya para anggota DPR mewakili rakyat, jangan mewakili fraksi atau partainya saja.
”Fraksi itu membelenggu, apalagi dibikin setgab. Fraksi membuat sekat-sekat dalam DPR kita,” katanya.
Terkait dengan ambang batas yang kini dinaikkan menjadi 3,5 persen, menurut Ibrahimsyah, sebaiknya ambang batas tidak berlaku secara nasional karena partai-partai kecil akan hilang di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
”Ini menghilangkan hak-hak daerah. Kearifan lokal akan hilang, padahal seharusnya dihargai. Mayoritas dan minoritas hanyalah urusan jumlah. Dalam sejarah politik Indonesia, kita pernah memiliki Partai Sosialis Indonesia yang luar biasa. Jangan-jangan Partai Damai Sejahtera anggotanya lebih berkualitas daripada partai besar yang anggotanya salah bicara terus,” kata Ibrahimsyah.
Pakar hukum tata negara dari Universitas HKBP Nommensen Medan, Dr Budiman Sinaga, mengatakan, dalam perundangan di Indonesia, ada asas yang menyebut bahwa peraturan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
”Jadi, UU tidak bisa bertentangan dengan UUD 1945 atau Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa Indonesia itu beragam dan tidak mengatasnamakan pribadi, tetapi mengatasnamakan kelompok,” kata Budiman.
Ambang batas dinilai bertentangan dengan sistem proporsional dan justru melahirkan disproporsional. Undang-Undang Pemilu yang baru saja disahkan justru memunculkan kontroversi dan gugatan hukum atau uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin, kemarin mengatakan, UU Nomor 42 Tahun 2008 masih layak untuk digunakan. ”Jika tidak terlalu signifikan perubahannya, sebaiknya jangan diutak-atik,” katanya.
Menurut dia, ambang batas pencalonan presiden yang diatur dalam UU No 42/2008 masih cukup ideal. Partai politik atau gabungan parpol berhak mengajukan pasangan calon presiden-wakil presiden jika memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau memperoleh minimal 25 persen suara sah nasional dalam pemilu legislatif.
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ganjar Pranowo sependapat UU Pemilu Presiden tidak perlu diubah. Pasalnya, tidak ada permasalahan krusial yang harus diperbaiki dalam UU No 42/2008.
Jika upaya perubahan UU No 42/2008 dibuka, Ganjar memprediksikan perdebatan akan berulang.