”Arsip perfilman tak punya nilai komersial sehingga pihak swasta sulit mencari dana memanfaatkan film-film itu. Negara, terutama pemerintah, harus ambil alih tanggung jawab melestarikan arsip perfilman untuk kepentingan pendidikan,” kata Alex Sihar, Ketua Yayasan Konfidenyang juga Komite Film Dewan Kesenian Jakarta, Kamis (10/5).
Sejak didirikan tahun 1972, Pusat Informasi dan Dokumentasi Perfilman (Sinematek) berjaya ketika pemerintahan Gubernur Ali Sadikin. Sinematek didirikan sineas dan dosen perfilman Institut Kesenian Jakarta, yakni Asrul Sani dan Misbach Yusa Biran. Ini didukung Ali Sadikin yang bercita-cita menjadikan Jakarta pusat kebudayaan, sejajar kota-kota besar di dunia.
Menurut Djonny Syafrudin, Ketua Yayasan Pusat Perfilman H Usmar Ismail (PPHUI), sejak tahun 1998 Pemerintah Provinsi DKI tak memberi dana bagi Sinematek. Pemprov DKI hanya memberi gedung dan menunjuk pihak ketiga untuk mengelola gedung. Sebagian hasil pengelolaan gedung untuk Yayasan PPHUI, Rp 30 juta per bulan.
Minim dana, ribuan koleksi Sinematek rusak berat. Film, naskah, dan rekam jejak perfilman nyaris hancur.
Sineas Riri Riza yang tergabung dalam komunitas Masyarakat Film Indonesia menegaskan belum tampak komitmen pemerintah menyelamatkan Sinematek. Yang mendesak, merestorasi dan mendigitalisasi film dan koleksi lain di Sinematek.
Hal memalukan, menurut Riri, proses restorasi film Indonesia justru dilakukan pihak asing. Film Lewat Djam Malam direstorasi atas biaya National Museum of Singapore (NMS). NMS lalu bekerja sama dengan World Cinema Foundation, lembaga pelestari film dunia, memasukkan Lewat Djam Malam ke Festival Film Cannes di Perancis.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti mengatakan sedang mengkaji kemungkinan menyelamatkan Sinematek.