Bogor, Kompas -
”Ketika ada gangguan pada kubah gambut, selamanya tak akan bisa pulih,” kata Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo, Rabu (9/5), di Bogor.
Kubah gambut seperti bukit, berfungsi menyimpan air, karena gambut seperti spons. Sementara, perkebunan sawit membuka kanal-kanal untuk pengeringan gambut.
Menurut Bambang, risiko jangka panjang sawit di lahan gambut sangat berat. Selain memicu konflik masyarakat lokal akibat gangguan sistem cadangan airnya, areal itu rentan terbakar.
”Selama ini, ancaman terberat pada perkebunan sawit yang monokultur belum karena penyakit atau hamanya. Dua ancaman paling serius, konflik dengan warga lokal dan kebakaran,” kata Bambang, yang ditunjuk Kementerian Lingkungan Hidup sebagai saksi ahli penyidikan pelanggaran dua perkebunan sawit di Rawa Tripa, PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur 2.
Ketua Himpunan Gambut Indonesia Bambang Setiadi menyebutkan, gangguan kubah gambut harus dihindari. Pada kedalaman setengah meter tetap harus dilarang untuk alih fungsi.
”Pelanggaran pada setiap pembukaan lahan gambut karena didasarkan uang, bukan pada keilmuan,” kata dia.
Setidaknya, dalam setiap usaha pemanfaatan lahan gambut terdapat empat pelanggaran. Pertama, memanfaatkan gambut dimulai dengan uang, bukan ilmu tentang peran gambut di kawasan itu. Kedua, pembuatan kanal-kanal bukan untuk menjaga kawasan penyangga air, melainkan mengeringkan gambut.
Ketiga, gambut yang berbentuk kubah digali yang menyebabkan kekeringan kawasan. Keempat, kawasan gambut berfungsi seperti spons, kalau hujan menyimpan air, ketika kemarau melepaskan air secara pelan-pelan. ”Sekali alur gambut dipotong atau digali, fungsi spons ini musnah,” kata Bambang.
Saat berkunjung ke Kompas, Direktur PT Surya Panen Subur Eddy Sutjahyo Busiri mengatakan, pihaknya menaruh perhatian khusus menjaga peran gambut. Salah satunya menjaga level air sesuai kebutuhan dengan memanfaatkan pintu air di kanal-kanal yang ada.