Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nyai Sobir

Kompas.com - 15/04/2012, 03:28 WIB

A Mustofa Bisri

Ribuan bahkan puluhan ribu pelayat dari berbagai kota yang menangis itu, tampaknya tak seorang pun yang datang berniat menghiburku.

Mereka semua melayat diri mereka sendiri. Hanya orangtuaku dan beberapa orang famili yang terus menjagaku agar aku tidak pingsan seperti banyak santri yang sama sekali tidak siap ditinggal almarhum.

Almarhum sejak selesai dimandikan dan dikafani, sudah sepenuhnya milik mereka para pelayat diri sendiri itu. Mereka bawa almarhum ke mesjid yang sudah penuh sesak untuk mereka sembahyangi. Aku setengah sadar mengikuti upacara pelepasan jenazah. Kiai Salman, sahabat almarhum, yang memberi sambutan atas nama keluarga. Lalu beberapa kiai dari berbagai daerah memanjatkan doa; tapi aku tak tahu persis siapa-siapa mereka. Aku hanya asal mengamini.

Hari berikutnya dan berikutnya, banjir jama’ah laki-laki perempuan tak susut meluapi makam dan mesjid pesantren kami. Alunan tahlil dan doa seolah tak pernah putus dari pagi hingga malam hari. Mereka meratapi kepergian almarhum yang selama ini mereka anggap guru dan bapak. Sandaran mereka. 

Kiai Sobir atau yang popular dipanggil Mbah Sobir adalah sesepuh dalam arti yang sebenarnya di wilayah kabupaten kami dan sekitarnya. Di samping mengasuh pesantren dengan ratusan santri laki-laki perempuan, beliau secara de facto juga mengasuh dan melayani ribuan ’santri kalong’. Mereka yang tidak tinggal menetap di pesantren, tapi selalu datang untuk mengikuti pengajian rutin beliau atau yang sekadar sowan dengan berbagai keperluan. Belum lagi mereka yang datang dari tempat-tempat yang jauh. Bahkan banyak sekali pejabat dari tingkat propinsi dan pusat yang menyempatkan diri sowan kiai sepuh yang sederhana ini.

Dalam hal menerima tamu, pastilah tak ada yang dapat menandingi Kiai Sobir. Hampir setiap hari dari pagi hingga malam, ndalem*) beliau tak pernah sepi dari tamu, baik yang datang perorangan atau—kebanyakan—berombongan. Bahkan tidak jarang rombongan tamu datang tengah malam. Dan ’peraturannya’, setiap tamu yang datang harus makan.

Ruang tamu ndalem beliau yang sederhana, didominasi oleh dua bale-bale besar dari bambu dialasi tikar pandan. Ada bangku memanjang tempat Mbah Sobir duduk dan—biasanya dengan—kiai atau tamu sepuh yang diajak duduk bersama beliau. Di depannya ada meja kuno yang selalu penuh dengan makanan, dikelilingi beberapa kursi yang tidak seragam. Di atas dua bale-bale besar itulah biasanya santri-santri ndalem dengan sigap mengatur hidangan untuk makan para tamu.

Kiai Sobir tidak membedakan siapa-siapa yang datang kepada beliau. Siapa pun tamunya, pejabat tinggi atau rakyat jelata; laki-laki atau perempuan; dari kalangan santri atau tidak; beliau terima dengan gembira dan penuh penghormatan. Telinga beliau dengan sabar menampung segala keluhan, curahan hati, bahkan bualan tamu-tamunya yang beragam. Di hadapan beliau, semua orang merasa benar-benar menjadi manusia yang merdeka. Manusia yang dimanusiakan.

Maka mereka pun tak segan-segan mengutarakan keperluan-keperluan mereka. Mulai dari mengundang ceramah, hingga mengundang untuk peletakan batu pertama pembangunan mesjid atau madrasah. Mulai dari minta doa restu, hingga minta utangan. Dari minta air suwuk**) untuk anak yang rewel, hingga minta nasihat perkawinan. Dari minta dicarikan jodoh, hingga minta dicarikan mantu. Dari minta arahan menggarap sawah, hingga minta dukungan untuk pilkada. Dari minta fatwa keagamaan, hingga minta bantuan kenaikan pangkat .

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com