Film Sembilan hendak menggambarkan perlawanan terhadap serangan bajak laut dari luar. Perlawanan itu dilakukan bersama-sama oleh sembilan suku. Film ini hendak menunjukkan bagaimana komunisme bekerja sembari menyelaraskannya dengan anjuran Presiden Soekarno. Sayangnya, kata Misbach, setelah jadi film, penonton tidak bisa merasa bahwa gambaran dalam film itu adalah sama dengan anjuran Presiden Soekarno. Orang lebih banyak mengagumi tata warnanya serta aneka warna busana yang direncanakan oleh Teguh Karya. Tidak mengherankan lantaran Sembilan adalah film Indonesia pertama yang berwarna—tidak lagi hitam putih.
Setelah PKI dibubarkan dan pengaruh komunisme kian berkurang, Misbach terpilih menjadi anggota DKJ dan mengajar di IKJ. Walau berkali-kali meneguhkan niat untuk hengkang dari jagad perfilman, nyatanya niat itu tak pernah terlaksana. Di luar kesibukan di DKJ dan IKJ, dia merintis pula Sinematek—pusat pendokumentasian film Indonesia. Dia juga tetap menyutradarai dan menulis skenario film. Dari dunia film yang dibenci sekaligus dicintainya ini, sudah banyak penghargaan diterimanya, salah satunya dari Presiden Habibie pada tahun 1999 berupa Satya Lencana.
Belakangan, Misbach menjadi orang di balik layar yang mengembangkan film di Muhammadiyah, bersama sutradara senior, Chairul Umam. Mengenai hal ini, dia menulis:
Bagi saya sendiri, demi Islam saya bersedia berjuang di bawah payung mana saja, di mana saya dibutuhkan. Pada akhir 1950-an, saya berjuang di koran Masyumi, kemudian menjadi komisaris HSBI, lalu diminta memperkuat Lesbumi. Kini Chairul minta dibantu di Muhammadiyah.
Misbach mengaku tidak menerima honor apapun, baik dari HSBI, Lesbumi maupun Muhammadiyah. Dia melakukan itu semata-mata demi idelismenya pada film, juga demi agamanya.
Dengan dasar pemikiran yang sama, pada suatu masa, sutradara yang lahir di Rangkasbitung, Lebak, Banten, 11 September 1933 ini pernah berdiri di garis depan dalam melawan dominasi orang-orang komunis: orang-orang yang di matanya anti-Tuhan.