Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Film dan Komunisme di Mata Sutradara Bandel

Kompas.com - 11/04/2012, 10:46 WIB

Misbach dengan bangga menyatakan dirinya berasal dari keluarga pemberontak. Selain kakeknya, ayahnya juga seorang pemberontak terhadap kekuasaan Belanda di daerah Sumatera Barat. Sifat itu menurun pada dirinya. Karena itu, Misbach menyebut dirinya sebagai orang bandel karena memiliki kepribadian yang cenderung suka memberontak, pemberai, pembangkang.

Kebandelan itu sudah terlihat terang sejak dia remaja saat dia belajar di SMA Taman Siswa, Jakarta. Sekolah ini adalah gudangnya aktivis politik, seniman dan budayawan. Dia kerap berulah nakal, suka ribut, atau menjadi trouble maker.

Sejak tahun 1951-1952, di SMA Taman Siswa sudah berkembang berbagai paham politik. Kebanyakan siswanya bergabung dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Misbach memilih ikut Pelajar Islam Indonesia (PII). Menurutnya, IPI lebih condong ke komunisme. Pokoknya saya tidak ikut kelompok siswa yang komunis, kata dia. Dengan keaktifannya di organisasi ini, dia tidak buta politik sama sekali.

Sebagai aktivis PII, Misbach tak gentar berhadapan dengan orang-orang Kiri di sekolahnya, bahkan terhadap gurunya. Suatu hari, karena sesuatu hal, dia ribut dengan guru yang di kamarnya terpampang bendera Pemuda Rakyat, organisasi pemuda bawahan PKI.

Di kemudian hari, pada tahun 1960-an ketika terjun di dunia film, sutradara yang berteman akrab dengan Dwi Tunggal perfilman Indonesia Usmar Ismail-Djamaluddin Malik ini semakin intens berhadapan dengan kalangan kiri. Yang dia maksud kalangan kiri adalah orang-orang yang pro-komunis. Mereka berasal dari anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), Sarbufis (Sarikat Buruh Bioskop, Film dan Sandiwara), Lesbi (Lembaga Seni Budaya Indonesia), dan lain-lain. Umumnya, mereka menamakan diri sebagai kelompok Progresif-Revolusioner.

Menurut Misbach, kalangan kiri sangat gencar menyerang lawannya. Tentang hal ini, dia bercerita:

Apalagi semakin kuatnya posisi PKI di sisi Soekarno membuat Lekra semakin berani melakukan langkah garang. Tidak ada organisasi kesenian yang berani menentang kaum Kiri. Bisa dicukur habis oleh mereka. Koran-koran yang menjadi terompet kalangan Kiri akan menyerang dengan terjangan keras dan cercaan kasar terhadap siapa saja yang berani menghalangi jalan mereka atau yang dianggap musuh. Yang paling galak adalah koran Bintang Timur dengan ruang kebudayaannya, Lentera, yang diasuh oleh pengarang Pramoedya Ananta Toer. Cara koran itu menghajar lawannya sangat kasar dan kotor. Orang yang tidak berlindung dalam partai yang dekat dengan Soekarno akan tidak berdaya sama sekali kalau diganyang oleh koran pro-Kiri. Organisasi kesenian yang tidak punya “bapak” kuat, seperti halnya HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam), akan empuk dihabisi kalau berani menyatakan sikap politik atau berani menentang langkah orang Kiri.

Pada saat itu, satu-satunya tempat berlindung bagi seniman Islam adalah Partai NU (Nahdlatul Ulama). Kata Misbach, ketika aksi seniman Kiri hendak mengangkangi semua bidang kesenian, NU tergerak membikin organisasi kebudayaan yang bisa menandingi Lekra-nya PKI. Organisasi itu bernama Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia). Didirikan pada tahun 1962, Ketua Umumnya adalah Djamaluddin Malik, tapi secara de facto, nahkodanya adalah Usmar Ismail.

Awalnya Misbach tidak dilibatkan dalam Lesbumi. Saat kekuatan komunis dirasa kian menjadi-jadi, kemudian dibentuklah Lesbumi wilayah DKI Jakarta, karena organisasi ini tidak cukup efektif bila hanya bergerak di pusat. Misbach didaulat menjadi ketuanya. Dia mau mengemban tugas itu setelah didesak terus-menerus, tapi tetap menolak untuk masuk ke Partai NU, walau dijanjikan akan diberi satu kursi di parlemen. Sedari awal, mantan anggota TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) ini memang enggan menjadi bagian dari partai politik, walau kenyataannya dia pernah juga bekerja sebagai redaktur Abadi—koran milik Masyumi.

Peta politik nasional berubah drastis setelah peristiwa G30S terjadi pada 30 September 1965. Kala itu terjadi serangan balik kalangan nonkomunis terhadap kalangan prokomunis di segala bidang, termasuk film. Presiden Soekarno, yang mulai terpojok, menghimbau agar semua kekuatan nasional tetap bersatu untuk memecahkan berbagai masalah. Imbauan yang dikenal dengan istilah Kerukunan Nasional itu tidak mempan. Di mana-mana orang meneriakkan supaya PKI dibubarkan dan yang bersalah mesti dihukum.

Dalam situasi seperti ini, sutradara Wim Umboh membikin film antikomunis berjudul Sembilan. Sebenarnya Misbach dilibatkan dalam pembuatan film itu, tapi dia menolaknya. Alasan dia, dalam pembuatan film itu ada perananan kalangan politik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com