Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman Kemerdekaan Hakim

Kompas.com - 11/04/2012, 02:51 WIB

Oleh Achmad Fauzi

Tak lama lagi pilar penyangga lembaga peradilan sebagai kekuasaan negara yang merdeka akan roboh.

Skema pelemahan penegakan hukum dan intervensi politik terus merongrong independensi peradilan melalui cara-cara yang inkonstitusional. Padahal, Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan sikap kemandirian hakim dari campur tangan pihak mana pun dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Intervensi otoritas politik terhadap hukum paling mutakhir adalah rencana pemidanaan hakim yang melanggar kode etik dalam memutus perkara. Diskursus itu mencuat dalam pleno Badan Legislasi DPR, belum lama ini, yang membahas draf rencana perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Latar belakang pemikiran tersebut bertolak dari sanksi administratif yang dijatuhkan terhadap hakim yang dinilai kurang memberikan efek jera. Komisi III mengusulkan DPR memiliki kewenangan pengawasan terkait putusan-putusan hakim yang dianggap kontroversial dan menjadi perhatian publik. Di sinilah kemurnian putusan hakim akan diuji oleh semesta kepentingan politik di dalamnya.

Upaya kekuasaan legislatif merecoki dunia peradilan melalui produk-produk legislasi tersebut merupakan tindakan inkonstitusional, mencabik imunitas yudisial, mencederai kemerdekaan hakim dan cita-cita negara hukum yang steril dari otoritas mana pun. Ini pelanggaran terbesar, di mana kekuasaan legislatif berusaha mengangkangi kekuasaan yudikatif. Padahal, secara ketatanegaraan, Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power).

Imunitas yudisial

Idealnya, hasil kerja profesional hakim tidak bisa direvisi oleh otoritas nonyudisial karena akan menyesatkan publik. Masyarakat menjadi tidak percaya peradilan, marwah hakim turun, putusan sebagai mahkota hakim tidak bertaji karena dimentahkan otoritas di luar pengadilan. Padahal, entitas pengadilan yang bebas dari pengaruh luar mensyaratkan adanya imunitas yudisial atas hakim yang mengadili perkara. Karena itu, sepatutnya kita kembali kepada norma dasar universal dan konstitusi negara kita bahwa putusan hakim tidak boleh diintervensi atau diperbaiki oleh otoritas di luar pengadilan.

Sebagai bentuk kontrol putusan pengadilan, UU telah memberikan saluran resmi berupa upaya hukum. Dengan demikian, revisi putusan hakim hanya bisa dilakukan melalui upaya hukum yang lebih tinggi. Di sinilah putusan hakim akan tergambar: apakah ada unsur pelanggaran kode etik, salah menerapkan UU, dan sebagainya.

Jika dalih kegelisahan publik terhadap kredibilitas hakim disebabkan makin jamak vonis bebas koruptor yang dianggap kontroversial dan melenceng dari semangat pemberantasan korupsi, tidak berarti putusan secara serampangan bisa diobok-obok otoritas nonyudisial. Hal yang perlu diluruskan justru paradigma vonis bebas sebagai bentuk perlakuan hukum terhadap seseorang yang menuntut kecermatan dan ketepatan prosedural dari seorang hakim karena berimplikasi terhadap pemidanaan. Ada instrumen-instrumen metodologi yang menjadi acuan hakim agar menerapkan hukum secara tepat dan adil.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com