Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hakim: Kami Harimau yang Dipaksa Jadi Kucing

Kompas.com - 10/04/2012, 12:34 WIB
Maria Natalia

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Gerakan Hakim Progresif Indonesia yang mewakili hakim di seluruh Indonesia mendatangi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Selasa (10/4/2012). Dalam pertemuan yang difasilitasi mantan hakim konstitusi, Jimly Asshiddiqie, 28 hakim itu mengutarakan isi hati mereka tentang tuntutan kenaikan gaji hakim kepada Menpan dan RB, Azwar Abubakar.

Menurut para hakim, pemerintah sengaja menyamakan gaji mereka sebagai pejabat negara dengan pegawai negeri sipil agar hakim dapat dikendalikan sebagai pemegang kuasa peradilan.

"Kami ini disebut sebagai harimaunya konstitusi, tetapi kami dipaksa untuk menjadi kucing. Ini bukan menghina PNS. Tidak masalah kami dikatakan PNS, tetapi dalam aturan perundangan, kami disebut pejabat negara. Apa ini cara pemerintah untuk mengendalikan kami," tutur Wahyu Sudrajat, hakim asal Pengadilan Negeri Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi, di hadapan Menpan.

Menurutnya, sejak dulu pemerintah menjanjikan akan menaikkan gaji dan tunjangan hakim, tetapi masih belum terealisasi. Padahal, di masa pemerintahan Presiden Soeharto, kata Wahyu, dibuat aturan khusus kenaikan gaji hakim sebanyak 100 persen. "Tahun 1994 Presiden Soeharto mengeluarkan aturan gaji pokok khusus untuk hakim di luar gaji PNS, 100 persen beda dari PNS. Dengan berlalunya waktu, ternyata, pada tahun 2008, itu untuk terakhir kalinya naik gaji pokok," ungkapnya.

Masih berkaitan dengan status hakim sebagai pejabat negara, menurut Wahyu, hakim tak bisa menuliskan jabatannya sebagai hakim di kartu tanda penduduk (KTP). Padahal, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menyebut hakim sebagai pejabat negara. Oleh karena itu, harusnya ada perbedaan baik dalam hal gaji maupun cara pandang.

"Ini harus diubah dulu, pejabat negara dan bukan lagi PNS, termasuk hak-haknya. Penegasan demikian harus dengan PP. Ini saja kami buat KTP, saya bilang saya hakim, dibilang petugasnya, enggak ada. Bisanya ditulis pekerjaan PNS, bukan hakim," papar Wahyu.

Dalam pertemuan ini para hakim juga meminta Menpan untuk membantu menyuarakan tuntutan mereka, terutama kepada pemerintah dan Menteri Keuangan. Hakim, kata Wahyu, bukan mengharapkan penghormatan, tetapi minta pemerintah memenuhi hak konstitusi hakim yang terabaikan.

"Kami ini pejabat setingkat apa sebenarnya. Agar jelas juga hak kami yang harusnya dipenuhi. Kami ini bukan minta penghormatan. Tidak. Kami hanya ingin hak konstitusi kami diperhatikan," ujar Wahyu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau 'Ge-er'

    Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau "Ge-er"

    Nasional
    Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

    Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

    Nasional
    Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

    Nasional
    Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

    Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

    Nasional
    JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

    JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

    Nasional
    Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

    Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

    Nasional
    Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

    Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

    Nasional
    Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

    Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

    Nasional
    Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

    Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

    Nasional
    BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

    BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

    Nasional
    Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

    Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

    Nasional
    Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

    Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

    Nasional
    Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

    Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

    Nasional
    Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

    Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

    Nasional
    Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

    Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com