Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Golkar: Pasal 7 ayat 6a Bukan Mekanisme Pasar

Kompas.com - 05/04/2012, 06:45 WIB
Ester Meryana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Satya Widya Yudha berpendapat, Pasal 7 ayat 6a RUU APBN-Perubahan 2012 tidak berarti menjadikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mengacu pada mekanisme pasar. Menurut dia, pasal itu semata untuk memberikan peluang kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi ketika harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) naik jauh melebihi asumsi yang dipatok di APBN-P 2012.

"Yang menjadi market economy apabila (harga BBM bersubsidi) harus disesuaikan dengan harga ICP. Ini tidak, hanya triger saja, hanya starting point buat pemerintah untuk melakukan perbaikan harga," sebut Satya kepada Kompas.com, di Jakarta, Rabu (4/4/2012).

Dalam Pasal 7 ayat 6a RUU APBN-P 2012 tertera bahwa pemerintah diberikan kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi jika rata-rata harga ICP selama enam bulan terakhir telah lewat 15 persen, yakni 120 dollar AS per barrel, dari asumsi ICP yang dipatok 105 dollar AS per barrel.

"Begitu rata-rata ICP mencapai 120 dollar AS selama 6 bulan, pemerintah diberikan kewenangan menyesuaikan," tambah dia.

Akan tetapi, kata dia, penyesuaian harga BBM bersubsidi bukan kepada harga ICP-nya langsung. Besaran harganya itu tergantung pemerintah. Harga BBM bisa hanya dinaikkan Rp 500 atau Rp 1.000 jika realisasi harga ICP 15 persen di atas asumsi. Satya pun menyebutkan, angka 15 persen atau rata-rata ICP sekitar 120 dollar AS diambil Fraksi Partai Golkar karena ketika itu harga keekonomian premium sudah mencapai Rp 10.000 per liter.

"Ibaratnya pemerintah sudah kena lampu merah. Berarti Anda itu sudah mensubsidi lebih dari 100 persen," tegas dia.

Jadi, ia menyimpulkan, harga BBM bersubsidi tidak mengacu pada mekanisme pasar. Mekanisme pasar itu berarti ketika harga ICP naik maka harga BBM yang kini disubsidi, seperti premium dan solar, juga naik.

"Karena yang dimaksud dengan mekanisme pasar apabila begitu kita ngomong ICP sekian harganya, (harga BBM bersubsidi) otomatis naik. Ini tidak," pungkas Satya.

Seperti diwartakan pada Senin (2/4/2012), beberapa kalangan termasuk pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra berencana mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan ketentuan Pasal 7 ayat 6 dan ayat 6a RUU APBN-P 2012. Ketentuan tersebut dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertabrakan satu sama lain sehingga bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28D ayat 1, Pasal 28H ayat 1, dan Pasal 33.

Menurut Yusril, keberadaan Pasal 7 ayat 6a telah mengakibatkan ketidakpastian hukum karena multitafsir. Bahkan, ketika dibahas di DPR, terjadi perdebatan penafsiran di antara anggota DPR sendiri. "Kalau dalam sebuah pasal di UU mengandung makna yang multitafsir, dia dapat dibatalkan MK. Atau MK menafsirkannya supaya dia sesuai dengan konstitusi," ujar Yusril.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum yang Puja-puji Ketua KPU RI Hasyim Ay'ari

Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum yang Puja-puji Ketua KPU RI Hasyim Ay'ari

Nasional
Presiden Diminta Segera Atasi Kekosongan Jabatan Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial

Presiden Diminta Segera Atasi Kekosongan Jabatan Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial

Nasional
UU DKJ Disahkan, Jakarta Tak Lagi Sandang 'DKI'

UU DKJ Disahkan, Jakarta Tak Lagi Sandang "DKI"

Nasional
Bos Freeport Ajukan Perpanjangan Relaksasi Izin Ekspor Konsentrat Tembaga hingga Desember 2024

Bos Freeport Ajukan Perpanjangan Relaksasi Izin Ekspor Konsentrat Tembaga hingga Desember 2024

Nasional
Puan Sebut Antar Fraksi di DPR Sepakat Jalankan UU MD3 yang Ada Saat Ini

Puan Sebut Antar Fraksi di DPR Sepakat Jalankan UU MD3 yang Ada Saat Ini

Nasional
Puan: Belum Ada Pergerakan soal Hak Angket Kecurangan Pilpres 2024 di DPR

Puan: Belum Ada Pergerakan soal Hak Angket Kecurangan Pilpres 2024 di DPR

Nasional
Beri Keterangan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Diskualifikasi dan Pemilu Ulang Bisa Timbulkan Krisis

Beri Keterangan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Diskualifikasi dan Pemilu Ulang Bisa Timbulkan Krisis

Nasional
Bantuan Sosial Jelang Pilkada 2024

Bantuan Sosial Jelang Pilkada 2024

Nasional
KPU Klaim Pelanggaran Etik Hasyim Asy'ari Tak Lebih Banyak dari Ketua KPU Periode Sebelumnya

KPU Klaim Pelanggaran Etik Hasyim Asy'ari Tak Lebih Banyak dari Ketua KPU Periode Sebelumnya

Nasional
Bos Freeport Wanti-Wanti RI Bisa Rugi Rp 30 Triliun Jika Relaksasi Ekspor Konsentrat Tembaga Tak Dilanjut

Bos Freeport Wanti-Wanti RI Bisa Rugi Rp 30 Triliun Jika Relaksasi Ekspor Konsentrat Tembaga Tak Dilanjut

Nasional
Sidang Sengketa Pilpres, KPU 'Angkat Tangan' soal Nepotisme Jokowi yang Diungkap Ganjar-Mahfud

Sidang Sengketa Pilpres, KPU "Angkat Tangan" soal Nepotisme Jokowi yang Diungkap Ganjar-Mahfud

Nasional
KPU Anggap Ganjar-Mahfud Salah Alamat Minta MK Usut Kecurangan TSM

KPU Anggap Ganjar-Mahfud Salah Alamat Minta MK Usut Kecurangan TSM

Nasional
KPU: Anies-Muhaimin Lakukan Tuduhan Serius MK Diintervensi

KPU: Anies-Muhaimin Lakukan Tuduhan Serius MK Diintervensi

Nasional
Penguasaha Pemenang Tender Proyek BTS 4G Didakwa Rugikan Negara Rp 8 Triliun

Penguasaha Pemenang Tender Proyek BTS 4G Didakwa Rugikan Negara Rp 8 Triliun

Nasional
KPU: Anies-Muhaimin Tak Akan Gugat Pencalonan Gibran jika Menang Pemilu

KPU: Anies-Muhaimin Tak Akan Gugat Pencalonan Gibran jika Menang Pemilu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com