Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sulitnya Membangun Satu Kata

Kompas.com - 16/03/2012, 02:11 WIB

Upaya pemerintah mengambil alih 7 persen saham sisa divestasi Newmont Nusa Tenggara hingga kini tidak kunjung terwujud. Padahal, uang tunai setidaknya 246,8 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,221 triliun sudah lama disiapkan di kas negara.

Penting bagi pemerintah menguasai divestasi tahap akhir ini. Pertama, agar kontrol pemerintah lebih kuat, terutama dalam mengetahui rekam jejak keuangan perusahaan tambang, tidak hanya Newmont.

Kedua, sisa saham 7 persen itu akan menggenapkan kepemilikan nasional sebagai penguasa dominan, yakni 51 persen. Ini untuk pertama kali pemerintah ingin ikut campur langsung dalam menjalani manajemen tambang dan jadi pertaruhan pertama bagi divestasi selanjutnya.

Secara bisnis, tidak ada halangan dalam jual beli saham Newmont. Kementerian Keuangan, melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP), telah menandatangani perjanjian jual beli saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) dengan Nusa Tenggara Partnership BV (pihak asing yang memiliki saham NNT) pada 6 Mei 2011.

Ganjalan justru muncul dari sisi politis. DPR tidak setuju pembelian saham itu dilakukan tanpa persetujuan DPR. Keberatan dilayangkan DPR kepada Menteri Keuangan melalui surat bernomor PW.01/9333/DPR RI/X/2011 bertanggal 28 Oktober 2011.

DPR juga minta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit khusus. Hasilnya menegaskan, selain harus mendapatkan izin DPR, pembelian saham juga harus ditetapkan dalam peraturan pemerintah.

Buntutnya, sengketa menyeret Presiden di satu sisi dan DPR serta BPK dalam perseteruan antarlembaga negara. Sengketa inilah yang kini dalam proses uji materiil di Mahkamah Konstitusi.

Presiden memohon Mahkamah Konstitusi mengizinkan pemerintah membeli sisa 7 persen saham. Presiden juga meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan hasil audit BPK tidak mengikat pemerintah dan keinginan DPR telah melampaui kewenangan konstitusional.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Supriatna Sahala di Jakarta, Senin (12/3), menegaskan, kepentingan nasional seharusnya ditempatkan di atas kepentingan lain. Tarik ulur kasus Newmont menunjukkan kepentingan nasional masih dikalahkan.

Ganjalan muncul karena sejak awal pemerintah daerah berkeras membeli saham. Karena tidak memiliki uang, pemerintah daerah memaksakan diri meminjam dari swasta. Belakangan pihak swasta itu pun ternyata meminjam dana dari luar negeri dan, ketika diklarifikasi pemerintah, sulit memberi jawaban jelas.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com