Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pluralisme sebagai Benteng Republik

Kompas.com - 06/01/2012, 14:51 WIB

Hak dan tanggung jawab sebagai warga negaralah yang membentuk kesadaran demokrasi, HAM, dan penghormatan terhadap pluralitas.

Berbeda dengan perjalanan banyak negara Eropa, sejak awal nasionalisme Indonesia dibangun atas rantai keterkaitan gugus entitas kultural yang plural dalam etnis, ras, agama, dan golongan. Sejak awal, pluralisme telah disadari oleh para pendiri republik tidak saja sebagai hak dari tiap-tiap orang yang mengaku menjadi bangsa Indonesia. Lebih dari itu, dalam sejarahnya tiap-tiap bagian bangsa ini telah berkorban, memberi, dan berperan dalam perjuangan membentuk Indonesia.

Dalam narasi sejarah demikian, nasionalisme sebagai ikatan kultural yang berbineka sejak awal telah menubuh dalam kesadaran patriotisme sebagai komitmen politik untuk membentuk negara-bangsa dengan segenap spirit kewargaannya. Konstruksi kebangsaan inilah yang ditekankan Soekarno dalam Lahirnja Pantjasila: ”Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua!”

Seruan Bung Karno bahwa Indonesia milik semua sejalan dengan ajakan Abdurrahman Wahid. Bahwa, dalam ikatan keindonesiaan tidak boleh ada kelompok yang diistimewakan satu di atas yang lain. Sebab, tiap-tiap bagian dari bangsa Indonesia memiliki kontribusi penting dalam pembentukannya.

Batang tubuh

Kalau kita hubungkan komitmen kebangsaan dengan mulai munculnya sikap eksklusivisme di kalangan Islam terhadap kelompok minoritas Syiah dan Ahmadiyah, ada baiknya kita membahas sekelumit sumbangan mereka bagi terciptanya Indonesia.

Bagi kaum Syiah yang dipandang sebagai kaum minoritas Muslim Indonesia, sumbangan mereka dalam keislaman Nusantara amatlah penting. Sejak awal masuknya Islam di Nusantara, jejak sumbangan kultural mereka tampak dari tradisi keagamaan pada saat hari Asyura, melalui tradisi upacara bubur merah (lambang keberanian Imam Hussein) dan putih (lambang kesucian Imam Hassan) dari Aceh sampai Maluku. Tradisi kultural inilah yang mengilhami lambang bendera kita: Merah Putih.

Demikian pula halnya dengan Ahmadiyah, yang ketidaksepakatan beberapa kelompok terhadapnya sampai tak membolehkan hak mereka untuk hidup sebagai warga negara. Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, salah satu kelompok pergerakan modernisme Islam di Indonesia, yaitu Studenten Islam Studieclub—embrio dari kemunculan aktivis Islam politik seperti Masyumi—dalam publikasi majalahnya sering kali menggunakan tafsir Al Quran dari jemaah Ahmadiyah yang terkenal karena rasionalitas dan saintifiknya (Yudi Latif, 2005; Soekarno, 1964).

Dalam terang sekelumit fakta-fakta sejarah di ataslah sebenarnya ide pluralisme dan toleransi bukanlah ide yang berangkat jauh dari luar dan ditanamkan tanpa penyesuaian di Indonesia. Pluralisme adalah batang tubuh dari keindonesiaan kita. Setelah ide-ide ini digemakan oleh Soekarno dan Abdurrahman Wahid, kita membutuhkan lahirnya generasi baru yang membela pluralisme Indonesia sebagai benteng republik.

Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com