JAKARTA, KOMPAS.com — Hukuman bagi terpidana korupsi di Indonesia dianggap belum menciptakan efek jera. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pengaturan Hak Warga Binaan, koruptor masih mendapatkan sejumlah kemewahan. Apa saja kemewahan yang disediakan kepada koruptor itu?
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Abdullah Dahlan, merincinya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Minggu (18/12/2011) petang. Menurut dia, kemewahan pertama untuk koruptor adalah pemberian remisi. Setelah menjalani sepertiga masa hukumannya, terpidana korupsi bisa mendapatkan remisi yang terdiri dari remisi umum (saat HUT RI) dan remisi tambahan (saat hari besar keagamaan).
"Selama 2010 tercatat, 341 terpidana korupsi mendapat remisi, 11 di antaranya langsung bebas," ungkap Abdullah.
Kemewahan kedua, lanjutnya, diberikan asimilasi setelah menjalani dua per tiga masa hukumannya. "Bagian ini sering menjadi tawar-menawar agar koruptor bisa menghirup udara bebas di luar dengan alasan narapidana sedang menjalani pembauran dengan masyarakat," ucapnya.
"Padahal sampai hari ini kita tidak mengetahui, pembauran seperti apa yang dilakukan, dan bagaimana efeknya terhadap penjeraan publik dalam pemberantasan korupsi," tutur Abdullah.
Lainnya, koruptor masih mendapat cuti menjelang bebas selama maksimal tiga bulan. "Sama dengan asimilasi, setelah menjalani dua per tiga masa hukuman, koruptor boleh cuti," tuturnya.
Selanjutnya, terpidana korupsi diperbolehkan mendapat pembebasan bersyarat. "Setelah mendapat kemewahan di atas, terpidana korupsi ternyata masih bisa mendapatkan PB (pembebasan bersyarat), dengan syarat sama, menjalani dua per tiga masa hukumannya," kata Abdullah.
Kini, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemhuk dan HAM) berupaya memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap koruptor itu. Namun, langkah tersebut mendapat ganjalan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Sejumlah anggota Dewan menginisiasi penggalangan interpelasi untuk mempersoalkan kebijakan Kemhuk dan HAM tersebut. Abdullah menilai, sungguh bertentangan dengan rasa keadilan jika koruptor diberikan remisi dan pembebasan bersyarat di tengah rendahnya rata-rata hukuman koruptor yang diputus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
"Tahun 2010, rata-rata hanya tiga tahun empat bulan," ujarnya.Dengan demikian, bentuk-bentuk kemewahan yang diterima terpidana korupsi tersebut tidak bisa dibiarkan.
"Fasilitas tersebut dinilai mengurangi keseriusan Indonesia memberantas korupsi dan tidak menimbulkan efek jera," kata Abdullah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.