Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka Bermimpi Plasma, Justru Tercabut Nyawa

Kompas.com - 19/12/2011, 03:39 WIB

Yulvianus Harjono

Peristiwa 10 November 2011 tak akan dilupakan Herun Sandiardi (18) dan mayoritas warga Tanjung Raya, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung. Sengketa lahan dengan perusahaan sawit PT Barat Selatan Makmur Investindo nyaris merenggut nyawanya.

Tepat pada Hari Pahlawan itu, remaja buruh petani sawit ini terluka akibat kakinya terserempet peluru. Tanpa penyebab pasti, seorang oknum aparat Brimob yang diketahui tengah menjaga aset PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) ketika itu menembaki Herun dan warga lain dari jarak 15 meter.

”Saat lihat ramai-ramai, saya turun dari motor. Tahu-tahu petugas itu langsung menembaki kami. Tembakan pertama mengenai tanah, tetapi yang kedua kena kaki. Habis itu tidak ingat apa-apa lagi, yang saya pikirkan hanya menyelamatkan diri,” tutur Herun saat ditemui akhir pekan lalu di Desa Sritanjung, Tanjung Raya.

Malam harinya, ia mengaku sulit tidur mengenang kejadian mencekam itu. ”Sekujur badan saya panas, kepala pusing,” ujar Herun. Trauma pun sempat merasukinya. Apalagi, diketahui tetangganya, Zaelani (45), tewas di lokasi kejadian di Unit II Perkantoran PT BSMI dengan kondisi tertembak di kepala.

Dalam kejadian itu, enam warga lain terluka akibat tertembak. Hingga kini, dua warga, yaitu Muslim dan Robin, masih dirawat di rumah sakit karena luka-luka parah, yaitu tertembak di perut dan kaki. Sejumlah saksi bercerita, oknum anggota Brimob itu melepaskan serangkaian tembakan dengan peluru karet dan tajam tanpa peringatan terlebih dahulu.

Inilah yang kemudian membuat warga marah, lalu bertindak anarkistis dan membakar mes karyawan Divisi II PT BSMI. Seluruh bangunan mes dan pabrik pengolahan minyak sawit mentah (CPO) habis dibakar. Hingga kini pabrik ini masih lumpuh, karyawan pun belum beraktivitas.

Jatuhnya korban jiwa ini meninggalkan kepedihan mendalam bagi keluarga besar masyarakat di Tanjung Raya yang mayoritas masih satu kerabat ini. Perjuangan lama, yaitu 17 tahun, untuk menuntut hak mereka atas pengelolaan tanah seluas 7.000 hektar yang kini dikuasai PT BSMI berakhir tragis.

Areal yang dahulu merupakan bagian dari tanah ulayat kemudian dipercayakan untuk dikelola perusahaan dengan sistem kerja sama (plasma) ini dikabarkan telah dipindahtangankan. ”Kalau memang itu telah dijual ke warga lain, seharusnya dijelaskan dijual ke mana. Buktinya, kami hingga kini tidak menguasai 1 hektar pun tanah,” ungkap Aswad Cik Man (55), salah seorang tokoh warga Sritanjung.

Melalui pola kerja sama inti-plasma yang telah dituangkan dalam perjanjian 17 tahun lalu, setiap warga berharap dapat mengelola 2 hektar tanah sehingga bisa mengubah nasib mereka. Dengan demikian, mereka tidak lagi terjerat kemiskinan karena mengandalkan pekerjaan sebagai buruh panen sawit yang penghasilannya tidak menentu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com