Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rakyat Bimbang Ingin Disentil

Kompas.com - 04/12/2011, 06:08 WIB
Budi Suwarna & Yulia Septhiani


KOMPAS.com - Praktik pengobatan alternatif seperti jamur di musim hujan, tumbuh di mana-mana. Metodenya pun beragam, mulai pijat, totok, sentil, sampai garuk, bahkan terapi dengan lintah. Rakyat yang bimbang mencari kesembuhan ramai-ramai ingin disentil dan digaruk.

Laki-laki itu menggulung secarik kertas HVS lantas menjempitkannya di antara jari tengah dan jari manis kaki pasien. Tanpa memberi aba-aba, dia menyentil gulungan kertas itu keras-keras, ”Tak... tak... tak!” Si pasien langsung meringis kesakitan. Bagaimana bisa? Itu memang bukan sembarang sentilan. Meski hanya mengenai gulungan kertas, sentilan tersebut konon mengandung energi yang menjalar ke saraf si pasien.

Itulah terapi sentil ala Bayu Darma Engku Suharto Yuda Ningrat (41) atau lebih dikenal dengan nama Harto. Terapi yang terkesan aneh itu cukup banyak peminatnya. Rabu (30/11/2011) ketika matahari belum tinggi, Harto telah menangani 60 pasien di kamar praktik berukuran 4 x 2 meter di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Harto mengklaim, penyakit apa saja bisa dia ”sentil”, mulai flu, stroke, hingga kanker. Dia tidak mematok tarif untuk terapinya itu. ”Berapa pun saya terima,” katanya.

Kalau Harto ”menyentil” penyakit, H Toteng Djuhari memilih ”menggaruk” penyakit. Jari-jarinya lincah menggaruk kaki, punggung, dada, dan kepala pasien. Toteng mengatakan, jarinya bergerak sendiri di atas tubuh pasien seraya menyalurkan energi.

”Saya tinggal ikuti saja. Nanti dia berhenti sendiri di daerah yang sarafnya tersumbat,” ujar Toteng ketika ditemui di kliniknya di Jalan Veteran, Bintaro, Jakarta Selatan.

Prinsip terapi garuk Toteng sederhana.

Garukan jari konon, kata Toteng, membuat aliran darah si pasien lebih lancar. Dengan begitu, daya tahan dan metabolisme tubuh juga meningkat. ”Itu yang sebenarnya bisa melawan penyakit apa pun, mulai kanker, stroke, epilepsi, hingga jantung,” kata Toteng yang mematok tarif Rp 75.000 sekali terapi garuk di Jakarta dan Rp 50.000 di Bandung.

Lintah dan totok

Pengobatan yang ditawarkan oleh Guharto (41) lain lagi meski prinsipnya sama, yakni mengembalikan metabolisme. Hanya saja caranya dengan menyedot darah pasien lewat bantuan lintah. Darah pasien dan racun yang terkandung di dalamnya terbuang sehingga kerja organ tubuh manusia menjadi lebih ringan. Lintah juga mengalirkan enzim yang bisa mengencerkan darah pasien.

”Penyakit apa saja, mulai panu, ginjal, lever, stroke, jantung, hingga diabetes, mudah diobati dengan cara ini,” kata Guharto di rumahnya di Sawangan, Depok, Jawa Barat, yang sekaligus menjadi tempat praktik dan budidaya lintah.

Salma Dian Prihajanti (40) menawarkan pengobatan totok aura di klinik Dian Kenanga. Yang ditotok bisa wajah, tubuh, organ intim, saraf, dan payudara. Metodenya adalah mengombinasikan totok dan tenaga prana demi menyehatkan aura—semacam medan energi elektromagnetik yang mengelilingi sekujur tubuh orang.

Pengobatan totok yang Dian tawarkan cukup menarik minat pelanggan. Setiap hari, Dian menangani rata-rata 165 pelanggan. Usaha yang semula bertempat di dua kamar kos itu kini berkembang menjadi tiga gerai, yakni di Pejaten Barat, Jalan Ampera Raya, dan Depok.

Tengoklah Klinik Jeng Ana yang menawarkan pengobatan herbal dan supranatural di Kalibata Timur, Jaksel. Setiap Sabtu dan Minggu klinik itu didatangi tidak kurang dari 200 pasien, mulai dari mahasiswa, ibu rumah tangga, sampai artis sinetron.

Sebagian dari mereka datang dengan mobil kinclong. Di ruang tunggu, seorang perempuan pasien berpakaian modis dan bersepatu hak tinggi sibuk mengotak-atik Blackberry atau iPad. Seorang pasien hari itu pulang dengan sekantong penuh herbal seharga Rp 3,5 juta.

Di klinik terapi sentil Harto, Roy sabar menanti giliran. Laki- laki yang bekerja sebagai pilot itu datang untuk menjaga kebugaran. ”Saya mencoba pengobatan ini karena tidak berbau mistis,” ujar Roy yang telah 1,5 tahun menjadi pasien Harto.

Alternatif-komplementer

Keberadaan pengobatan tradisional, seperti dikatakan dokter spesialis penyakit dalam Samsuridjal Djauzi, tak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia. Jauh sebelum mengenal dokter, masyarakat Indonesia sudah mengenal pengobatan tradisional.

Samsuridjal menjelaskan, pada praktiknya di masyarakat, pengobatan tradisional terbagi ke dalam dua fungsi, yaitu pengobatan alternatif dan pengobatan komplementer. Pengobatan alternatif adalah pengobatan yang dilakukan sebagai alternatif lain dari pengobatan modern.

”Misalnya, seseorang yang berpenyakit kanker memilih memakai obat-obatan herbal karena takut menjalani kemoterapi,” kata Samsuridjal.

Adapun pengobatan komplementer biasanya dilakukan untuk melengkapi pengobatan modern. Berdasarkan hal inilah, Samsuridjal berpendapat, pengobatan modern dan tradisional bisa saling melengkapi.

”Yang penting tujuannya sama, menjaga kesehatan masyarakat. Mereka yang praktik pengobatan alternatif harus jujur, tidak boleh menipu dengan janji muluk. Masyarakat juga harus pandai-pandai memilih jenis pengobatannya,” ujar Samsuridjal.

Ketua Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia Hardhi Pranata mengatakan, hingga saat ini ada empat pengobatan tradisional yang diprioritaskan oleh kedokteran, yaitu akupunktur, akupresur, jamu, dan hiperbarik (terapi oksigen).

”Jenis terapi yang lain masih diteliti Kementerian Kesehatan apakah memenuhi kaidah kesehatan atau tidak,” kata Hardhi.

Pada dasarnya, Hardhi, yang dokter spesialis saraf ini, mendukung adanya pengobatan tradisional yang bisa membantu menyembuhkan penyakit, apalagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang bisa menjadi sumber pengobatan herbal.

”Langkah mudah yang bisa dilakukan, mengecek izin praktiknya. Izin praktik harus dari dinas kesehatan, bukan kejaksaan seperti yang banyak terpampang di pinggir jalan,” tutur Hardhi.

Diterima atau tidak, nyatanya pengobatan alternatif hidup di tengah masyarakat. Mengapa? ”Dunia kedokteran pun tidak menjamin pasien sembuh 100 persen,” ujar Dadi Darmadi, antropolog Universitas Islam Negeri Jakarta.

Masyarakat kemudian mengedepankan cerita tentang mukjizat dan keajaiban dalam proses penyembuhan. Kisah semacam itu menarik untuk masyarakat Indonesia yang bimbang berada di antara kultur urban dan agraris sekaligus.

”Nah, para terapis alternatif itu menjadi jembatan untuk masyarakat yang bimbang ini,” ujar Dadi. (DAY/WKM)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com