Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ubah Total Persepsi Pemerintah soal Papua

Kompas.com - 29/11/2011, 12:59 WIB
Ary Wibowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah mulai dari pusat hingga kabupaten perlu mengubah total perspektifnya dalam melihat Papua. Pemerintah harus mampu keluar dari jebakan simbol dan paradigma separatisme dan secara realistis memahami persoalan Papua.

Demikian diungkapkan peneliti LIPI Muridan Widjojo dalam seminar bertajuk "Dialog untuk Memutus Siklus Konflik dan Kekerasan di Papua" yang berlangsung di Pusat Studi Jepang UI, Depok, Selasa (29/11/2011). Paradigma separatisme dan pendekatan keamanan yang sering dipakai oleh pemerintah, menurut Muridan, harus diubah ke paradigma perdamaian dan keadilan dengan pendekatan dialog.

"Nilai ke-Indonesiaan di Papua harus dibangun dengan kebijakan konkret langsung menyentuh akar persoalan yang nyata. Nasionalisme Indonesia orang Papua bisa dibangun melalui perbaikan kebijakan yang hasilnya secara konkret dapat dinikmati oleh orang asli Papua," ujar Muridan.

Dikatakan, salah satu contoh langkah konkret perubahan perspektif pandangan tersebut yakni mengenai simbol-simbol perlawanan orang Papua. Dengan adanya pergeseran paradigma tersebut, Muridan mengharapkan, kebijakan pemerintah akan lebih akomodatif dan toleran terhadap perlawanan simbolis rakyat Papua.

"Simbol-simbol perlawanan tersebut seharusnya dapat diadopsi sebagai simbol baru Papua dan dianggap menjadi bagian dari simbol identitas Indonesia," kata Muridan.

Ia menjelaskan, selama ini definisi ke-Indonesiaan pada praktiknya direduksi hanya pada batas ritual-ritual kenegaraan dan penghotmatan berlebih pada simbol kenegaraan. Menjaga integritas NKRI terkadan selalu diidentikan dengan menjaga secara membabi buta simbol-simbol kenegaraan.

"Lihat saja, bagaimana aparat keamanan sangat reaktif terhadap pengibaran bendera Bintang Kejora. Untuk menghentikan kegiatan itu dikerahkan pasukan keamanan dalam jumlah besar. Pasal makar 106 KUHP tanpa ragu dipakai, dan seorang dapat dihukum 15 tahun karenanya. Seakan-akan pengibaran bendera mengancam integritas NKRI. Sedangkan kalau kemiskinan itu didiamkan saja," ucapnya.

Muridan menilai, vonis berat dan penanganan berlebihan itu tidak akan membuat orang Papua berhenti mengibarkan bintang kejora atau berteriak merdeka. Menurutnya, hasil dari kebijakan tersebut justru menghasilkan tuduhan pelanggaran atas hak kebebasan berekspresi dan bentuk pelanggaran HAM lainnya.

"Karena itu, perubahan perspektif itu sangat penting, karena konflik kekerasan dan ketegangan yang diakibatkan oleh permainan simbol itu dapat diselesaikan, dan sumber daya yang ada baik yang dimiliki pemerintah dan rakyat Papua dapat diarahkan pada penyelesaian masalah yang konkret dan nyata yang dirasakan oleh rakyat Papua," kata Muridan.

Dengan merasakan perbaikan-perbaikan nyata tersebut, menurut Muridan, citra positif Indonesia dengan sendirinya akan terbangun. Dengan citra itu, tanpa direkayasa rakyat Papua akan dengan sendirinya menghormati dan mengakui simbol-simbol kedaulatan RI seperti merah putih dan garuda pancasila.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

    TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

    Nasional
    Terseretnya Nama Jokowi di Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

    Terseretnya Nama Jokowi di Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

    Nasional
    Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

    Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

    Nasional
    Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

    Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

    Nasional
    Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

    Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

    Nasional
    Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

    Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

    Nasional
    Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

    Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

    Nasional
    Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

    Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

    Nasional
    Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

    Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

    Nasional
    Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

    Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

    Nasional
    Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

    Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

    Nasional
    Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

    Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

    Nasional
    Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

    Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

    Nasional
    [POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

    [POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

    Nasional
    Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

    Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com