Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Atasi Radikalisme Agama dengan Kesejahteraan

Kompas.com - 17/11/2011, 13:29 WIB

TANGERANG, KOMPAS.com--Pengamat hukum Universitas Indonesia, Sarlito Wirawan Sarwono mengungkapkan untuk mengatasi sikap radikalisme agama yang tumbuh menjadi terorisme dapat dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan.

"Sikap negatif ini dikarenakan adanya fanatisme terhadap sesuatu. Makanya, mereka (terorisme-red) mau melakukan apa saja demi kebenAran menurut dirinya dan kaumnya," kata Sarlito Wirawan Sarwono dalam seminar nasional di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Kota Tangsel yang bertema Welfare Approach Sebagai Kerangka Strategis Tangkal Kekerasan Sosial dan Terorisme di Indonesia.

Dijelaskannya, dengan tumbuhnya radikalisme agama maka orang bisa melakukan hal-hal agresif yang bisa mengancam keselamatan orang lain maupun dirinya sendiri.

Dengan dikuatkan ideologi, seseorang akan melakukan apapun termasuk bom bunuh diri.Dari hasil penelitian dari 47 mantan pelaku terorisme. Semuanya bukanlah orang-orang penyandang gangguan jiwa atau yang tergolong berkepribadian anti-sosial (psikopat).

"Buat mereka (terorisme-red) agama adalah acuan paling utama dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara," katanya.

Ia menerangkan kaum fanatisme agama kalau hidup di negara islam dapat beribadah dengan tenang.

Karena itu, Negara Indonesia harus menjadi negara islam, hukum syariah harus ditegakkan. "Karena itulah dinamakan golongan radikal," katanya.

Dari hasil eksperimen, lanjut Wirawan, mengubah ideologi sangat tidak mudah bahkan ada beberapa mantan terorisme menunjukkan penolakan mutlak.

Tetapi, ditemukan juga bahwa para ikhwan (sebutan antara sesama teman-red) ternyata bisa diajak dialog.

"Para pelaku teror itu bisa di ubah sikapnya, walaupun usaha untuk itu jauh lebih berat dan sulit daripada yang diduga," katanya.

Dekan Fisip dari Universitas Indonesia Bambang Skergi Laksmono menuturkan radikalisme agama sebagai bentuk riil perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan agama.

Yakni, ketika negara tidak mengakui eksistensi mereka, aspirasi persoalan pribadi, keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan menjadi akumulasi.

"Negara perlu kejelasan bingkai kebijakan dan perundang - undangan untuk penanganan masalah radikalisasi dengan penaganan kesejahteraan keluarga dan kepemudaan. Langkah ini bisa membendung radikalisme," kata dekan Fisip dari UI itu.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com