JAKARTA, KOMPAS.com — Rencana polisi yang memberikan ultimatum kepada karyawan PT Freeport Indonesia untuk membubarkan demonstrasinya adalah bentuk kekerasan dan sikap memihak pemodal asing.
Direktur Program Imparsial Al Araf, dalam percakapan di Jakarta, Selasa (1/11/2011), menegaskan, ultimatum polisi membuktikan bahwa aparat selalu berpihak kepada Freeport ketimbang kepada masyarakat Indonesia, dalam hal ini buruh Freeport.
"Langkah aparat itu tidak lepas dari diberikannnya uang jasa keamanan oleh Freeport kepada kepolisian, yang membuat sikap independensi, imparsialitas, dan profesionalitas aparat luntur. Polisi pun memosisikan dirinya sebagai bagian dari Freeport dan bukan sebagai bagian dari aparat Republik Indonesia yang mengabdi kepada kepentingan masyarakat," ujar Al Araf.
Menurut dia, apa yang dilakukan oleh buruh Freeport Indoensia adalah bagian dari upaya menuntut hak-hak asasi yang diakui oleh konstitusi. Aparat keamanan mengambil langkah keliru dan berlebihan, dengan mengancam dan memberikan ultimatum kepada buruh Freeport.
Al Araf mendesak Presiden RI konsisten dengan ucapannya, yang ingin menyelesaikan konflik di Papua dengan hati, yang berarti sejauh mungkin meninggalkan cara-cara mengancam dan kekerasan.
"Sudah saatnya Presiden menunjukkan keberpihakan sebagai bapak bangsa kepada masyarakat Indonesia, yakni kaum buruh Freeport, dengan memerintahkan kapolri dan bawahannya untuk tidak mengunakan kekerasan. Apabila itu terjadi, maka presiden bertanggung jawab atas semua tindakan eksesif yang terjadi. Kami mendesak kepada aktor keamanan untuk menggunakan cara-cara persuasif, dialogis, dalam menyelesaikan masalah yang ada," ucap Al Araf.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.