JAKARTA, KOMPAS.com — Keputusan terbuka Komite Etik tentang adanya pelanggaran etika ringan di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya sudah menjadi semacam sanksi sosial bagi nama-nama yang dinilai melanggar.
Dengan begitu, semestinya masalah ini dianggap selesai dan KPK bisa lebih berkonsentrasi membongkar kasus-kasus korupsi besar.
Hal itu disampaikan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat, di Jakarta, Kamis (6/10/2011).
"Pengumuman putusan Komite Etik itu sendiri sudah merupakan sanksi sosial bagi nama-nama yang disebut melanggar etika ringan, termasuk yang diputuskan secara beda pendapat (dissenting opinion)," katanya.
Sebagaimana diberitakan, Komite Etik KPK, Rabu lalu, mengumumkan bahwa dua Wakil Ketua KPK, yaitu Chandra M Hamzah dan Haryono Umar, dinilai tidak melanggar etika.
Namun, tiga dari tujuh anggota komite berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan menganggap keduanya melanggar etika ringan. Sementara mantan Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja dan Sekretaris Jenderal KPK Bambang Sapto Pratomo dianggap melanggar etika ringan.
Komaruddin Hidayat berharap, nama-nama itu sebaiknya mengaku dan meminta maaf atas pelanggaran etika yang dilakukannya itu. Setelah itu, jangan biarkan masalah ini terus merongrong KPK karena tidak produktif bagi pemberantasan korupsi.
"Daripada terus berkutat pada soal ini, lebih baik KPK membuktikan diri punya integritas, bersih, dan independen dengan mengungkap kasus-kasus korupsi besar," katanya.
Dia menghargai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berusaha menegakkan etika dengan membentuk Komite Etik. Komite itu telah bekerja dengan baik dan hasilnya diumumkan kepada publik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.