”Deradikalisasi itu dilakukan secara terus-menerus, tidak pernah berhenti, dan melibatkan tokoh-tokoh agama. Namun, deradikalisasi yang dilakukan itu targetnya bukan orang-orang yang radikal, melainkan orang-orang yang tidak radikal supaya tidak masuk paham radikal. Jadi sifatnya preventif,” kata Menteri Agama Suryadharma Ali, Selasa (27/9), di kantor Wakil Presiden, Jakarta.
Usaha deradikalisasi itu, menurut Suryadharma, lebih efektif jika menyentuh kelompok-kelompok radikal. Namun untuk menjangkau kelompok itu, pihaknya kesulitan karena orang- orang yang berada dalam jaringan kelompok radikal tersebut tak jelas organisasinya dan selalu berpindah-pindah.
”Kalau yang kami lakukan ini hanya bersifat preventif, pembicaraannya di mushala, di masjid- masjid, majelis taklim, dan pesantren,” kata Suryadharma.
Sejauh ini, kelompok radikal yang dapat disentuh upaya deradikalisasi dari Kementerian Agama masih sebatas mereka yang telah tertangkap dan dipenjara. Itu pun yang bisa diluruskan pandangan agamanya hanya mereka yang berada di strata bawah.
”Deradikalisasi kelompok radikal itu yang paling mungkin kepada mereka yang sudah ditangkap dan dipenjara. Yang bisa diluruskan kembali pandangan mereka yang keras dan menyimpang itu hanya pengikut-pengikutnya di strata bawah. Kalau tokoh, itu sudah susah,” katanya.
Usaha deradikalisasi terpidana teroris yang di strata bawah itu pun, menurut dia, yang berhasil persentasenya kurang dari 50 persen.
Ketika mengunjungi lokasi peristiwa bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton dan para korban ledakan di Rumah Sakit Dr Oen, Solo, kemarin, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj
mengharapkan ledakan bom bunuh diri di GBIS Kepunton tidak menimbulkan saling curiga atau perpecahan di antara umat beragama. ”Kalau kita saling pecah, teroris senang karena seperti yang mereka inginkan,” katanya.