Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Reshuffle" Saja Tidak Cukup

Kompas.com - 26/09/2011, 02:11 WIB

YOHAN WAHYU

Munculnya kasus korupsi dalam kementerian menjadi puncak ketidakpuasan publik terhadap kinerja kabinet. Perombakan kabinet pun menjadi salah satu keharusan. Namun perombakan saja, bagi publik, tidak cukup, patut pula dilengkapi dengan perbaikan gaya kepemimpinan Presiden.

Terkuaknya kasus dugaan suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memicu reaksi publik tentang perlunya Presiden mengevaluasi kinerja kabinet. Kekecewaan publik kepada pemerintah tampak menonjol dari besarnya proporsi responden jajak pendapat kali ini (75,6 persen) yang menyatakan tidak puas dengan kinerja para menteri.

Angka ketidakpuasan ini tercatat paling tinggi sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua terbentuk. Pada jajak pendapat Juli 2011, yang bertepatan dengan 21 bulan pemerintahan Presiden Yudhoyono periode kedua, tingkat ketidakpuasan publik pada kinerja kabinet berkisar di 70,6 persen. Angka ini melonjak jauh dibandingkan dengan saat tiga bulan pertama, yang tercatat 58,4 persen.

Tidak heran jika ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan ini berbuah tuntutan perombakan kabinet. Hampir 70 persen responden menyatakan, pergantian menteri perlu dilakukan untuk menjawab ketidakpuasan publik ini. Reshuffle pun dinilai separuh lebih responden (63,5 persen) sebagai langkah yang mendesak untuk dilakukan. Satu dari empat responden bahkan menyebut hal itu sangat mendesak.

Sinyal reshuffle sudah dinyatakan Presiden Yudhoyono yang menegaskan akan merombak kabinet sebelum genap dua tahun pemerintahannya pada 20 Oktober mendatang. Kuatnya wacana reshuffle kali ini tidak lepas dari dugaan korupsi yang menjerat dua kementerian di kabinet meskipun isu soal kendala fisik (usia/kesehatan) dan moral/etika sejumlah menteri juga mewarnai.

Layak diganti

Kuatnya sentimen publik pada dugaan korupsi dalam wacana reshuffle kabinet terlihat dari penilaian mereka tentang pimpinan kementerian yang layak dirombak. Dari 34 kementerian, tiga kementerian dinilai layak dilakukan pergantian menteri. Dua di antaranya adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar.

Dua kementerian ini sedang disorot soal dugaan korupsi menyangkut dana proyek di kementerian tersebut. Separuh lebih responden menyatakan, kedua menteri ini layak diganti, bahkan keduanya dinilai oleh 64,4 persen responden perlu mengundurkan diri dari kabinet tanpa menunggu proses hukum dari kasus korupsi di kementerian ini selesai. Artinya, keduanya diharapkan tidak masuk kembali dalam kabinet hasil reshuffle mendatang.

Selain kedua menteri itu, beberapa menteri yang saat ini tidak terganjal isu korupsi pun menuai pro dan kontra publik mengenai perlu atau tidaknya diganti. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar banyak dinegasi oleh responden. Demikian pula Menteri Perhubungan Freddy Numberi dinilai layak diganti meski dengan proporsi yang lebih kecil.

Masuknya nama Patrialis Akbar di mata publik boleh jadi terkait dengan penanganan sejumlah kasus hukum yang kerap dinilai belum berjalan semestinya. Sebut saja kasus joki narapidana di Bojonegoro, kasus ruang tahanan mewah bagi narapidana korupsi, dan polemik remisi bagi koruptor. Patrialis sudah menjawab semua tudingan itu.

Selain nama-nama di atas, bukan berarti nama lainnya sudah memuaskan. Pasalnya, jika dilihat dari jawaban responden atas pertanyaan kementerian mana yang kerjanya memuaskan, proporsi terbesar, sebanyak 32,3 persen responden, menjawab ”tidak ada”.

Kualitas kinerja

Kualitas kinerja dan bersih dari korupsi menjadi dua hal utama yang patut menjadi pertimbangan Presiden dalam merombak kabinet. Dua hal ini disebutkan hampir 80 persen responden sebagai faktor penting untuk menilai layak atau tidaknya seorang menteri diganti. Bagaimanapun, menteri yang kinerjanya buruk dan tersangkut korupsi akan memengaruhi tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah.

Sayangnya, untuk kasus ini, sebagian besar responden (76,4 persen) masih melihat Presiden Yudhoyono tidak tegas terhadap kementerian yang tersandung korupsi tersebut. Ketidaktegasan ini menjadi poin penilaian responden yang menyebut buruknya kinerja menteri tidak melulu akibat ketidakmampuan menteri dalam bekerja. Kepemimpinan Presiden juga menjadi faktor yang memengaruhi kinerja kabinet. Paling tidak hal ini disampaikan oleh 40,8 persen responden yang menyebutkan bahwa kepemimpinan Yudhoyono turut menyebabkan ketidakefektifan jalannya pemerintahan.

Penilaian soal kepemimpinan Presiden agaknya juga jadi faktor penting. Hal ini terindikasi dari penilaian separuh lebih responden (59,7 persen) yang meyakini reshuffle tidak akan meningkatkan kinerja pemerintahan Yudhoyono. Hal ini berbanding terbalik jika dibandingkan hasil jajak pendapat tiga tahun lalu (menjelang reshuffle kabinet pada Mei 2007). Saat itu justru separuh lebih responden (57,8 persen) meyakini reshuffle akan meningkatkan kinerja kabinet.

Boleh jadi inilah pesan publik bahwa perombakan kabinet harus semata-mata ditujukan untuk menumbuhkan kembali kepercayaan kepada pemerintah yang saat ini sedang digerogoti kasus-kasus korupsi. Artinya, menempatkan orang tepat di posisi yang tepat, bukan malah menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan semata.(LITBANG KOMPAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com