Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Farhat Tuding Kasus Kemennakertrans Penuh Rekayasa

Kompas.com - 12/09/2011, 15:42 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Farhat Abbas selaku kuasa hukum Dharnawati, tersangka kasus dugaan suap Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemennakertrans), menilai, kasus dugaan korupsi yang menjerat kliennya penuh rekayasa. Menurutnya, rekayasa dilakukan secara sistematis oleh beberapa pejabat yang menginginkan proyek senilai Rp 500 miliar tersebut.

"Yang jelas, dalam pengakuan Dadong, mereka semua meyakinkan bahwa uang itu buat Muhaimin. Dadong tidak mau bikin surat tanda terima, katanya bukan untuk dia sendiri. Jelas kalau bukan buat Muhaimin, buat siapa lagi kan? Ini bukan penipuan. Memang ini sistematis kok," kata Farhat di Galeri Cafe TIM, Jakarta, Senin (12/9/2011).

Sebelumnya, Dharnawati sempat menyebutkan tiga nama yang dinilainya menjadi makelar kasus dalam kasus tersebut. Selain nama mantan pejabat Kementerian Keuangan (Kemkeu) Sindhu Malik, Dharnawati juga menyebut Acos, Ali Mudhori, dan Fauzi sebagai makelar proyek yang menghubungkan perusahaan Dharnawati dengan kementerian dan DPR.

Menurut Farhat, beberapa pejabat itu mengambil keuntungan dalam kasus tersebut, seolah-olah mereka akan memberikan THR kepada rakyat dengan komisi 10 persen. Farhat pun kembali menegaskan, kliennya belum mendapatkan proyek apa pun karena tidak ingin menyetor fee sejumlah 10 persen tersebut.

"Klien kami dimintai THR, tapi tidak menjamin mendapatkan proyek. Karena kalau mau mendapat proyek Rp 10 miliar ya harus kasih Rp 1 miliar. Klien kami kan tidak mau karena itu korupsi, dan dipinjamlah Rp 1,5 miliar karena buku tabungan dan ATM-nya diminta sama Pak Dadong dan Nyoman. Nah, kami dijebak dengan uang pinjaman THR ini," kata Farhat.

Sebelumnya, Farhat juga mengungkapkan nama Muhaimin disebut dalam surat penangkapan KPK untuk kliennya. Ketiga tersangka diduga akan memberikan uang itu kepada Muhaimin. Namun, Farhat membantah adanya uang dari Dharnawati kepada Muhaimin. Menurut dia, kliennya tidak mengenal Muhaimin dan tidak pernah memberikan uang kepada Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa itu.

Saat ditanya apakah kasus itu melibatkan beberapa staf ahli Kemennakertrans saja, Farhat meragukan hal tersebut. Menurutnya, KPK seharusnya bisa menyelidiki beberapa orang yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.

"Tidak hanya staf ahli menurut saya, (tetapi juga) orang dekat (Muhaimin) itu atau tukang cari uangnyalah," kata Farhat.

Seperti diberitakan, Dharnawati, Dadong, dan Nyoman menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi (PPIDT) dengan alat bukti Rp 1,5 miliar. Ketiganya ditangkap di tiga tempat yang berbeda oleh KPK pada Kamis (25/8/2011).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

    Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

    Nasional
    Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

    Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

    Nasional
    Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

    Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

    Nasional
    Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

    Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

    Nasional
    [POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

    [POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

    Nasional
    Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

    Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

    Nasional
    Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

    Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

    Nasional
    Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

    Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

    Nasional
    Tanggal 31 Maret Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 31 Maret Memperingati Hari Apa?

    Nasional
    Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

    Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

    Nasional
    Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami 'Fine-fine' saja, tapi...

    Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami "Fine-fine" saja, tapi...

    Nasional
    e-Katalog Disempurnakan LKPP, Menpan-RB Sebut Belanja Produk Dalam Negeri Jadi Indikator RB

    e-Katalog Disempurnakan LKPP, Menpan-RB Sebut Belanja Produk Dalam Negeri Jadi Indikator RB

    Nasional
    Menteri PDI-P dan Nasdem Tak Hadiri Buka Puasa Bersama Jokowi, Menkominfo: Lagi Ada Tugas di Daerah

    Menteri PDI-P dan Nasdem Tak Hadiri Buka Puasa Bersama Jokowi, Menkominfo: Lagi Ada Tugas di Daerah

    Nasional
    MK Buka Kans 4 Menteri Jokowi Dihadirkan dalam Sidang Sengketa Pilpres

    MK Buka Kans 4 Menteri Jokowi Dihadirkan dalam Sidang Sengketa Pilpres

    Nasional
    Kubu Ganjar-Mahfud Minta MK Hadirkan Sri Mulyani dan Risma di Sidang Sengketa Pilpres

    Kubu Ganjar-Mahfud Minta MK Hadirkan Sri Mulyani dan Risma di Sidang Sengketa Pilpres

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com