Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hujan Remisi di Negeri Para Koruptor

Kompas.com - 03/09/2011, 02:10 WIB

Laras Susanti

Koruptor selalu punya cara dan alat untuk menghindari penegakan hukum dari hulu hingga hilir.

Kasus Nazaruddin adalah salah satu contoh menarik tentang berbagai cara untuk menghindari proses penegakan hukum. Mereka terus berupaya mengakali hukum dari saat penangkapan, pengadilan, hingga saat menjalani hukuman.

Salah satu cara mengakali masa hukuman adalah remisi. Ingar-bingar pemberitaan di wilayah penegakan hukum di hulu membuat kita sering lupa dengan yang di hilir.

Kita lupa bahwa pemberantasan korupsi bukan sekadar menangkap para tersangka dan menghukumnya. Ada esensi terpenting dalam proses hukum ini, yaitu membuat yang menjalani hukuman menjadi jera.

Kenyataannya, efek penjeraan memang terlupakan. Selama para koruptor dipenjara, upaya pembinaannya minimal dan yang terjadi malah ”hujan” remisi.

Tahun ini, pada Hari Kemerdekaan, sebanyak 427 narapidana korupsi mendapat remisi (Kompas, 17/8/2011). Sebanyak 19 orang di antaranya langsung bebas karena masa hukuman mereka berakhir.

Dari ratusan narapidana, beberapa koruptor kelas kakap—baik level nasional maupun daerah—mendapat remisi. Di level nasional ada mantan jaksa Urip Tri Gunawan. Di level daerah, bekas Bupati Kutai H Tengku Azmun Jaafar dan bekas Wakil Wali Kota Bogor Mochamad Sahid menerima remisi masing-masing dua bulan dua puluh hari dan tiga bulan.

Revisi remisi

Korupsi adalah extraordinary crime sehingga pemberantasannya pun harus lebih dari biasanya. Pemberantasan yang tentunya disertai dengan penghukuman yang menjerakan.

Secara yuridis, pemberian remisi kepada koruptor diperbolehkan dengan ketentuan khusus dalam PP Nomor 28 Tahun 2006. Seorang narapidana kasus korupsi mendapat remisi apabila berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidana. Namun, dalam realitas, pemberian remisi kepada koruptor sarat penyimpangan.

Salah satunya, adalah remisi untuk mantan jaksa Urip Tri Gunawan. Urip ditahan sejak Maret 2008. Pada tahun yang sama, Urip divonis 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Tahun 2011, kasasi Urip ditolak. Artinya, Urip harus menjalani masa pidana selama 20 tahun terhitung sejak masa penahanan, yakni tahun 2008.

Mengacu pada Pasal 34 Ayat (3) PP No 26/2008, Urip boleh menerima remisi apabila telah menjalani enam tahun, yakni sepertiga masa pidana. Ketentuan itu berlaku karena Urip adalah narapidana kasus korupsi.

Pemerintah justru seenaknya melanggar ketentuan tersebut. Pemerintah memberi Urip remisi khusus Hari Natal—dengan ketentuan maksimal remisi satu bulan—pada Desember 2010. Selanjutnya, Agustus 2011, Urip mendapatkan remisi umum (Hari Kemerdekaan) sebesar empat bulan.

Secara hukum, Urip baru menjalani tiga tahun masa pidana dan, karena itu, haram mendapat remisi. Artinya, pemerintah—dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM—telah melanggar UU dan PP yang berlaku. Urip seharusnya diperlakukan layaknya narapidana biasa yang bisa mendapat remisi setelah enam bulan masa pidana, padahal ia adalah narapidana kasus korupsi.

Simulasi kasus

Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM telah mencoba simulasi sederhana pada kasus kekeliruan pemberian remisi Urip. Simulasi dilakukan untuk memprediksi berakhirnya masa pidana Urip.

Besaran remisi mengacu pada Keppres Nomor 174 Tahun 1999. Dengan asumsi setiap tahun Urip mendapatkan remisi khusus dan remisi umum, Urip pada Mei 2017 sudah dapat menikmati pembebasan bersyarat. Sepertiga masa hukuman dapat dilalui di luar penjara dengan kewajiban lapor sampai Januari 2020.

Jika Urip mendapatkan remisi tambahan (berbuat jasa dan manfaat untuk bangsa) selain remisi khusus dan umum, pembebasan bersyarat Urip dapat terlaksana pada April 2016. Artinya, pada Desember 2020 wajib lapor Urip berakhir. Perhitungan di atas menunjukkan, dengan remisi, Urip hanya perlu menjalani sembilan tahun masa pidana. Remisi membuat Urip bisa menghemat 11 tahun masa pidana.

Padahal, vonis Urip adalah tonggak membanggakan dalam sejarah pemberantasan korupsi. Pada era KPK dan Pengadilan Tipikor, hanya Urip yang dijatuhi hukuman maksimal 20 tahun.

Bayangkan jika ada narapidana kasus korupsi yang divonis empat tahun pidana? Kita tentu tak pernah lupa tentang kisah masa pidana supercepat Aulia Pohan atau Artalyta Suryani (Ayin). Hal yang hanya bisa terjadi karena derasnya hujan remisi yang mereka nikmati meski mereka adalah tahanan korupsi.

Maka, setidaknya ada dua hal yang dapat ditangkap. Pertama, terlalu banyak jenis dan besar remisi yang dapat diterima koruptor: remisi umum, remisi khusus, dan remisi tambahan dengan besaran antara 15 hari sampai 6 bulan. Perhitungan masa pidana Urip menunjukkan penghematan masa pidana bisa sampai separuh vonis.

Kedua, pelaksanaan menyimpang aturan. Narapidana kasus korupsi disamakan dengan narapidana biasa. Belum lagi bicara soal subyektivitas persyaratan seperti kelakuan baik, jasa, dan manfaat pada negara.

Kebijakan koruptif

Pemberantasan korupsi harus bebas dari praktik menyimpang pemberian remisi. Kita telah bersepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka harus ada upaya luar biasa.

Perubahan aturan mengenai remisi harus dilakukan. Jihad aparat penegak hukum juga harus diimbangi dengan memperkecil remisi untuk koruptor. Jangan samakan besaran remisi narapidana kasus korupsi dengan narapidana biasa.

Penyimpangan yang telah terjadi harus ditindak tegas. Pejabat pemberi remisi yang menyimpang pun harus mendapat sanksi. Presiden SBY harus berani menindak tegas. Sudah tampak terang benderang bahwa itu adalah kebijakan yang koruptif. Tak terkecuali Menteri Hukum dan HAM yang menyetujui pemberian remisi.

Jika Presiden tak mampu bertindak tegas, kita kembali kecewa sembari mengingat-ingat janjinya memimpin langsung pemberantasan korupsi.

Laras Susanti Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com