Laras Susanti
Koruptor selalu punya cara dan alat untuk menghindari penegakan hukum dari hulu hingga hilir.
Kasus Nazaruddin adalah salah satu contoh menarik tentang berbagai cara untuk menghindari proses penegakan hukum. Mereka terus berupaya mengakali hukum dari saat penangkapan, pengadilan, hingga saat menjalani hukuman.
Salah satu cara mengakali masa hukuman adalah remisi. Ingar-bingar pemberitaan di wilayah penegakan hukum di hulu membuat kita sering lupa dengan yang di hilir.
Kita lupa bahwa pemberantasan korupsi bukan sekadar menangkap para tersangka dan menghukumnya. Ada esensi terpenting dalam proses hukum ini, yaitu membuat yang menjalani hukuman menjadi jera.
Kenyataannya, efek penjeraan memang terlupakan. Selama para koruptor dipenjara, upaya pembinaannya minimal dan yang terjadi malah ”hujan” remisi.
Tahun ini, pada Hari Kemerdekaan, sebanyak 427 narapidana korupsi mendapat remisi (Kompas, 17/8/2011). Sebanyak 19 orang di antaranya langsung bebas karena masa hukuman mereka berakhir.
Dari ratusan narapidana, beberapa koruptor kelas kakap—baik level nasional maupun daerah—mendapat remisi. Di level nasional ada mantan jaksa Urip Tri Gunawan. Di level daerah, bekas Bupati Kutai H Tengku Azmun Jaafar dan bekas Wakil Wali Kota Bogor Mochamad Sahid menerima remisi masing-masing dua bulan dua puluh hari dan tiga bulan.
Korupsi adalah extraordinary crime sehingga pemberantasannya pun harus lebih dari biasanya. Pemberantasan yang tentunya disertai dengan penghukuman yang menjerakan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.