Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nazaruddin Versus Mesin Kekuasaan

Kompas.com - 23/08/2011, 04:44 WIB

OLEH J KRISTIADI

Diam tidak selamanya emas. Lebih-lebih kalau yang melakukan adalah Muhammad Nazaruddin, tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan. Aksi tutup mulut Nazaruddin setibanya di Tanah Air memicu berbagai spekulasi mengingat, selama menjadi buron di luar negeri, ia sangat berani melontarkan berbagai tuduhan ke segala arah sehingga membuat panas dingin, terutama teman-teman dekatnya meski dalam beberapa hal pernyataannya tidak konsisten. Oleh karena itu, kalau semula ia bersikap sangat terbuka dan kemudian tidak mau berbicara sama sekali, hal itu merupakan bagian dari perilakunya yang selalu berubah-ubah.

Strategi bungkam secara sadar dan sengaja dipilih mungkin karena dianggap sebagai argumen taktikal paling mujarab untuk membantah berbagai tuduhan kepadanya. Paling tidak, ia ingin memberikan isyarat kepada publik bahwa yang ia lakukan selama ini bukan hanya untuk kepentingan pribadinya, melainkan justru menjalankan amanat perjuangan partai. Ia menggugat, mengapa setelah kasusnya terbongkar, hanya ia yang dijadikan pesakitan. Pesan tersebut mempunyai rasionalitas yang dapat diterima publik karena masyarakat pun tidak percaya, seorang Nazaruddin mempunyai pengaruh sedemikian besar sehingga dapat menjadi pemain utama dalam proyek bernilai lebih dari Rp 6 triliun, sebagaimana diungkapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Boleh jadi strategi ini didasarkan juga atas pengalaman pahitnya. Teman-teman dekatnya pada awalnya, baik secara tersamar maupun terang-terangan dan gagah berani, membelanya. Namun, dalam waktu sangat singkat, mereka berubah menjadi diam seribu bahasa, bahkan menjadi seteru utamanya.

Strategi tersebut tidak sepenuhnya meleset karena di tingkat tertentu dia berhasil membangun persepsi publik bahwa dia diperlakukan tidak adil. Dengan berdiam diri, justru banyak kalangan berharap dia terus ”bernyanyi” sekeras-kerasnya agar kasus tersebut dapat dibongkar ke akar-akarnya. Sementara itu, terhadap teman-teman dekatnya, dia berharap mereka tahu diri bahwa mereka adalah bagian dari dirinya. Ia berharap mereka tidak terus-menerus memojokkan dirinya. Lebih-lebih bagi Nazaruddin, dia mungkin merasa tahu persis berapa bagian yang telah mereka terima dari kasus tersebut.

Namun, kemungkinan yang paling meresahkan, bahkan dapat memicu kemarahan masyarakat adalah bekerjanya mesin kekuasaan yang mencoba menghalangi terbongkarnya kasus dugaan korupsi Nazaruddin yang melibatkan kader-kader lintas parpol. Kotak pandora sudah dibuka, masyarakat mengharapkan KPK dapat membongkar jaringan korupsi politik yang telah menyebabkan biaya politik di Indonesia sangat mahal. Bukan hanya dalam arti finansial, melainkan terlebih dalam arti biaya sosial. Jelasnya, kemerosotan moralitas berpolitik.

Selain itu, publik juga sangat khawatir kasus Nazaruddin dipolitisasi sehingga perkara tersebut hanya berakhir dengan kompromi para elite politik. Kunjungan beberapa anggota DPR menjenguk Nazaruddin ke Rutan Brimob dapat saja merupakan langkah awal dari proses negosiasi transaksional yang akan dilakukan. Penyelesaian politik hanya akan menyimpan misteri serta semakin melukai dan mengancam rasa keadilan publik. Maka, KPK harus tegas melarang siapa pun yang akan melakukan intervensi politik.

Para elite politik harus belajar dari pengalaman tragis dan getir Nazaruddin. Martabat sebagai wakil rakyat yang secara protokoler melekat dengan sebutan ”Yang Terhormat” luluh lantak karena terindikasi melakukan korupsi. Puluhan juta warga masyarakat menyaksikan bagaimana ia tertunduk lesu, dengan tangan diborgol, dikawal aparat negara lain. Mudah-mudahan tragedi itu benar-benar menjadi pelajaran bagi para elite politik sehingga tidak diperlukan peristiwa lebih tragis untuk menyadarkan mereka.

Oleh karena itu, mumpung masih pada tataran awal, mesin kekuasaan tidak boleh dibiarkan menjadi bola liar. Tanpa mampu mengendalikannya, ia akan menjadi mesin yang memproduksi elite politik yang mempunyai semangat pantang mundur menguras uang rakyat sampai rupiah terakhir dari kekayaan negara. Namun, yang lebih berbahaya, sekali mesin kekuasaan bekerja tanpa kontrol yang efektif, ia akan mendorong terjadinya arus balik reformasi yang mengembalikan tatanan kekuasaan yang represif. Rezim yang sangat menakutkan karena tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga akan memonopoli kebenaran.

Kegalauan dan keprihatinan masyarakat terhadap merajalelanya korupsi mengakibatkan peringatan HUT Kemerdekaan Ke-66 Republik Indonesia hambar. Suasana dan energi yang seharusnya dapat membangkitkan semangat untuk memacu mewujudkan Indonesia yang modern, makmur, dan berkeadilan seakan terkuras habis untuk mengatasi korupsi yang secara sistemik melekat dalam praktik politik. Oleh karena itu, banyak kalangan mulai mengingatkan para pemegang kekuasaan agar kekuasaan dikelola dengan amanah. Bahkan, tidak sedikit anggota masyarakat yang sangat khawatir karena praktik politik uang telah menyeret bangsa ke tepi jurang. Jawaban yang diharapkan rakyat tentu bukan pidato, melainkan kebijakan konkret agar benar-benar masalah paling besar bangsa Indonesia, korupsi, secara bertahap tetapi pasti dapat segera diatasi.

J Kristiadi Peneliti Senior CSIS

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com