Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antiklimaks Kasus Nazaruddin?

Kompas.com - 23/08/2011, 03:20 WIB

Oleh Syamsuddin Haris

Demi keselamatan anak dan istrinya, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin memilih bungkam dalam pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia bahkan rela menjadi ”tumbal” dan dihukum sendirian tanpa proses peradilan. Begitu naifkah penegakan hukum di negeri ini?

Belajar dari kasus-kasus besar terdahulu, sebutlah kasus Gayus Tambunan, perubahan sikap Nazaruddin sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Ketika kasus Gayus terungkap, publik berharap dapat menjadi momentum pemberantasan mafia pajak dan penegakan pemerintahan yang bersih. Namun, apa lacur, Gayus jadi tumbal sendirian, sementara puluhan perusahaan pengemplang pajak dan aparat pajak lainnya lolos dari jerat hukum. Harapan publik yang setinggi langit juga sempat muncul ketika Nazaruddin ditangkap aparat Interpol di Cartagena, Kolombia. Kasus Nazaruddin diharapkan jadi momentum pemberantasan mafia anggaran di DPR, perbaikan pengelolaan dana partai, kesempatan bagi Susilo Bambang Yudhoyono memenuhi janji pemberantasan korupsi, dan seterusnya.

Meski sebelumnya Nazaruddin menyebut sejumlah nama petinggi PD dan anggota DPR yang menikmati dana haram yang bersumber dari komisi proyek-proyek pemerintah yang diloloskan parlemen, setelah tertangkap ia memilih jadi tumbal seorang diri. Seperti diduga banyak pihak, kemungkinan besar Nazaruddin memang telah ”dikunci” tangan-tangan kekuasaan sejak drama penjemputannya yang kontroversial dari Cartagena disiarkan media. Dalam perjalanan sekitar 38 jam itu, sangat mungkin Nazaruddin disodori sejumlah pilihan atau skenario pahit yang membuatnya tidak dapat berkutik, kecuali mengorbankan dirinya sendiri.

Indikasi atas hal ini tak hanya tampak dari penjemputan Nazaruddin yang tak didampingi kuasa hukum yang bersangkutan, tetapi juga terlihat dari perubahan drastis sikap anggota Komisi III DPR itu pada hari pertama kehadirannya di KPK. Tekanan psikis yang dialami Nazaruddin begitu besar sehingga merasa perlu menulis surat meminta tolong kepada Presiden SBY agar keluarganya tidak ”diganggu”.

Para pembungkam Nazaruddin

Paling kurang ada tiga pihak yang berkepentingan membungkam Nazaruddin. Pertama, jajaran petinggi PD yang namanya disebut ataupun tidak disebut oleh Nazaruddin dari tempat pelariannya. Mereka berkepentingan ”menyelamatkan partai”. Dan itu berarti tak hanya menyelamatkan sejumlah petinggi partai yang disebut, tetapi juga kelangsungan kekuasaan pemerintahan yang dipimpin PD. Spanduk PD di berbagai sudut jalan di Ibu Kota beberapa waktu lalu yang berbunyi kira-kira ”Nila setitik jangan merusak susu sebelanga” sudah mengindikasikan itu.

Kedua, jajaran Badan Anggaran DPR yang merasa kebusukannya dibongkar oleh Nazaruddin. Para anggota alat kelengkapan DPR yang memiliki kekuasaan super ini jelas resah dan gelisah jika praktik mafia anggaran yang merugikan negara dan telah berlangsung selama ini terbongkar dalam pengadilan atas Nazaruddin. Apalagi jika tuduhan Nazaruddin sebelumnya benar, proyek-proyek pemerintah yang ditangani Nazaruddin hanya sebagian kecil dari total anggaran negara (APBN) yang memerlukan persetujuan Badan Anggaran DPR. Ironisnya, dalam konteks praktik mafia anggaran, semua fraksi sangat mungkin berkepentingan mengorbankan Nazaruddin karena diduga sebagian dana haram partai-partai politik kita bersumber dari permainan dan realokasi anggaran yang menjadi kewenangan Badan Anggaran DPR.

Ketiga, sudah tentu jajaran KPK sendiri. Beberapa orang pimpinan dan pejabat KPK berkepentingan agar Nazaruddin tidak membuka ”kesepakatan” politik yang diduga dilakukan unsur pimpinan KPK dan petinggi PD terkait dengan kasus suap proyek wisma atlet yang menjerumuskan Nazaruddin sebagai tersangka.

Indikasi bahwa KPK berkepentingan menyudutkan Nazaruddin sudah tampak dari konferensi pers prematur yang dilakukan Ketua KPK Busyro Muqoddas terkait sejumlah proyek APBN yang diduga melibatkan Nazaruddin. Seperti diketahui, Busyro menyebut total nilai proyek yang diduga melibatkan Nazaruddin sekitar Rp 6 triliun, padahal kasus hukum yang tengah ditangani KPK terkait Nazaruddin hanya proyek wisma atlet senilai Rp 191 miliar. Cara KPK itu jelas tendensius karena memojokkan mantan bendahara umum PD tersebut.

Publik gigit jari

Lalu apa yang bisa diharapkan publik dari kasus Nazaruddin? Jangan-jangan publik memang hanya bisa gigit jari jika Presiden SBY memenuhi permintaan belas kasihan Nazaruddin dan hanya berusaha menyelamatkan partainya. Apalagi apabila SBY hanya membiarkan tiga institusi di atas ”mengatur” kasus Nazaruddin, tak ada satu pun insentif yang diperoleh bangsa ini dari kasus Nazaruddin, kecuali sekadar dramatisasi pemberantasan korupsi yang seolah-olah intensif dilakukan, padahal masih berjalan di tempat.

Tangan-tangan busuk kekuasaan di satu pihak serta oportunisme para petinggi negeri, partai, dan parlemen di pihak lain tampaknya terlalu kokoh mencengkeram lembaga peradilan kita, termasuk KPK. Presiden SBY sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan semestinya menempuh langkah radikal jika benar-benar tulus, ikhlas, dan jujur hendak memberantas korupsi di negeri ini.

Sebagai pemimpin negara, Presiden SBY harus memiliki cara cerdas dan cerdik agar keluarga Nazaruddin tetap selamat di satu pihak, tetapi juga di pihak lain mantan bendahara umum partai itu mau membuka mulut terkait sejumlah petinggi PD yang pernah disebutnya. Untuk apa Presiden memiliki menteri-menteri negara, staf khusus kepresidenan, jajaran intelijen, kepolisian, kejaksaan, dan aparat negara lain jika cara cerdas dan cerdik tidak bisa dirumuskan untuk membongkar ”aib” di balik kasus Nazaruddin.

Jika pada akhirnya hanya Nazaruddin yang ”disepakati” menjadi tumbal dan dikorbankan dalam kasus wisma atlet atau kasus hukum lain yang melibatkannya, jangan pernah menyalahkan publik jika mereka akhirnya meragukan komitmen Presidennya dalam pemberantasan korupsi. Pola pikir masyarakat kita sederhana: jika Presiden SBY benar-benar tulus hendak memberantas korupsi, semestinya tangan-tangan busuk kekuasaan tidak dibiarkan ”mengatur” kasus Nazaruddin.

Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com