Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RAPBN 2012: Pesan Pesimistis dari Pemerintah?

Kompas.com - 22/08/2011, 04:32 WIB

OLEH MUHAMMAD CHATIB BASRI

Saya punya harapan bahwa RAPBN 2012 under promised, over delivered: realisasi lebih baik daripada target. Mengapa? Ini karena RAPBN 2012 seperti datang dengan pesan: ia tak bisa banyak mendorong pertumbuhan. Padahal, Indonesia sedang berada dalam tahap ekspansi ekonominya. Munculnya kelas konsumen baru, adanya bonus demografi, tingginya harga komoditas dan energi, relatif stabilnya makroekonomi dan kondisi politik, serta masuknya arus modal ke Indonesia adalah elemen yang seharusnya mampu membawa ekonomi tumbuh di atas 7 persen.

Situasi global yang tak menentu dalam jangka pendek memang bisa menjadi ancaman. Dan, kita butuh stimulus. Selain itu, berlanjutnya kebijakan bunga rendah dan masih rentannya kondisi ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa juga berpotensi mendorong modal ke emerging market, termasuk Indonesia.

Saya melihat, ini kesempatan bagi Indonesia. Syaratnya, benahi infrastruktur. Tanpa itu, justru bubble yang akan terjadi. Di sini peran RAPBN 2012 menjadi amat penting. Pertanyaannya, apakah RAPBN 2012 mampu mendorong pertumbuhan.

Mudah-mudahan saya salah, tetapi pemerintah terkesan tidak seoptimistis itu. Dengan pertumbuhan konsumsi masyarakat serta investasi dan ekspor yang relatif tinggi, pemerintah hanya mematok pertumbuhan ekonomi 6,7 persen karena pertumbuhan konsumsi pemerintah hanya 6,2 persen.

Jika saja konsumsi pemerintah dapat tumbuh di atas 10 persen tahun 2012, pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 7 persen. Bagaimana kita membaca RAPBN 2012?

Pertama, apresiasi harus diberikan untuk peningkatan porsi belanja modal dari 10,6 persen total belanja pemerintah pusat (APBN-P 2011) menjadi 11,8 persen (RAPBN 2012). Namun, kenaikan ini masih kalah dibandingkan dengan kenaikan porsi belanja pegawai, yang naik dari 20,1 persen (APBN-P 2011) menjadi 22,6 persen (RAPBN 2012).

Artinya, RAPBN 2012 memang lebih merupakan ”anggaran untuk pemerintah” ketimbang anggaran untuk negeri ini. Begitu juga dengan daerah. Separuh anggaran habis untuk alokasi gaji. Kementerian Keuangan dalam Nota Keuangan 2012 menunjukkan, dampak ekspansif rupiah RAPBN 2012 sebesar 2,1 persen dari produk domestik bruto (PDB), lebih rendah dibandingkan dengan APBN-P 2011 (2,5 persen dari PDB).

Wajar jika pemerintah hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi 6,7 persen. Pertumbuhan di bawah 7 persen adalah kondisi di mana infrastruktur stagnan. Jadi, jangan berharap perbaikan infrastruktur kalau begitu. Tentu ini tak optimal. Sebagai contoh, lihat kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan PDB pada triwulan II tahun 2011: hanya 0,3 persen.

Jika saja konsumsi pemerintah pada saat itu dapat tumbuh di atas 10 persen—seperti tahun 2008 dan 2009—pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 6,9 persen. Karena itu, seharusnya konsumsi pemerintah bisa didorong tumbuh di atas 10 persen agar pertumbuhan tahun 2012 mencapai 7 persen.

Kedua, saya amat bersimpati dan memahami persoalan yang dihadapi Menteri Keuangan Agus Martowardojo: keterbatasan ruang fiskal. Porsi anggaran yang mengikat mengakibatkan kecilnya ruang fiskal. Ruang fiskal hanya bisa diperbesar jika efisiensi dilakukan dan belanja subsidi dikurangi.

Di sini soalnya: RAPBN 2012 seperti disandera subsidi, khususnya bahan bakar minyak (BBM). Benar bahwa subsidi BBM turun dari Rp 129 triliun jadi Rp 123 triliun, tetapi ini disebabkan asumsi harga minyak yang lebih rendah. Saya khawatir subsidi BBM akan membengkak dan angka konsumsi 40 juta kiloliter akan terlampaui dalam tahun 2012.

Mengapa? Salah satu penyebab turunnya surplus dalam transaksi berjalan kita pada triwulan II-2011 adalah naiknya defisit neraca perdagangan minyak. Kita tahu pertumbuhan mobil dan motor jauh di bawah 100 persen, tetapi kenaikan defisit minyak melampaui 100 persen (pertumbuhan antartahun).

Lalu, siapa yang mengonsumsi BBM bersubsidi? Mungkin penyelundupan atau migrasi ke BBM bersubsidi akibat disparitas harga. Karena itu, jika pemerintah masih saja lebih mementingkan popularitas politik, subsidi akan meledak. Ruang fiskal semakin terbatas dan Kementerian Keuangan tak punya ruang untuk stimulus.

Artinya, kita mengorbankan pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan perlindungan bagi penduduk miskin demi popularitas politik. Wajar jika Menteri Keuangan begitu khawatir soal subsidi BBM dan mempertanyakan kebijakan energi.

Ketiga, transfer ke daerah meningkat tajam. Basri dan Hill (2011) menunjukkan adanya persoalan principal-agent, yakni agen (pemerintah daerah) tak selalu mematuhi principal (pemerintah pusat) karena tak ada lagi mekanisme reward and penalty.

Jadi, walaupun dana transfer ke daerah cukup besar, tak ada jaminan bahwa infrastruktur atau pengentasan rakyat dari kemiskinan akan menjadi lebih baik. Tanpa skema reward and penalty yang jelas, transfer ke daerah tak menjamin pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Di sini kita melihat: masalah utama adalah kualitas alokasi belanja pemerintah. Mungkin ada baiknya belajar dari pengalaman AS: kombinasi pemotongan anggaran dan terlalu besarnya alokasi untuk entitlement serta pertahanan membuat fiskal stimulus AS lumpuh.

Akibatnya, prospek pertumbuhan ekonomi AS menjadi suram. Kita memang berbeda dengan AS. Akan tetapi, kita punya kesamaan: alokasi belanja yang suboptimal membuat daya dorong fiskal terbatas.

Muhammad Chatib Basri Pendiri CReco Research Institute

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com