Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pidato SBY Mengecewakan

Kompas.com - 18/08/2011, 03:09 WIB

Radhar Panca Dahana

Saat mendengar pidato presiden ketiga RI, BJ Habibie, pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila, 6 Juni 2011, kita dapat merasakan bagaimana begitu kuat cara tokoh asal Gorontalo itu mengartikulasikan pikiran-pikirannya.

Tuturnya terjaga, irama dimainkan dengan baik, turun-naik, mengeras dan melembut, disertai beberapa sentakan staccato, juga klimaks-klimaks yang menciptakan impresi seorang orator yang kini kian langka.

Mungkin itulah pidato terbaik yang pernah saya lihat dan apresiasi dari seseorang yang memperlihatkan kualitas kenegarawanan, lebih kuat ketimbang ia memegang jabatan sebelumnya. Penilaian itu tak hanya didasarkan pada kelugasan dan kecakapan mengartikulasikan kata dan ide, tetapi lebih utama pada ide yang ada di dalamnya. Bukan hanya ia memberi komentar kritis dan solusi yang menarik bagi berbagai persoalan mutakhir bangsa ini, melainkan juga teknokrat unggul tersebut menyentuh persoalan berdimensi sosial, etis, dan kebudayaan, hingga pada masalah perilaku masyarakat yang menyimpang belakangan ini.

Apa yang paling menarik adalah ketika ia melakukan koreksi yang kritis justru pada kekuatan ilmu atau sains, intelektualisme, rasionalisme, dan demokrasi di mana ia menjadi eksponen utamanya. Di sini kita mendapatkan seorang figur yang telah berhasil melampaui (kapasitas dan kepentingan) dirinya sendiri dan berdiam dalam dunia ide yang memayungi kepentingan semua golongan dan kelompok-kelompok sektarian lainnya.

Setelah wafatnya Soeharto dan Gus Dur—dua presiden sebelumnya, yang dengan segala kekurangannya kita terima dengan baik kualitasnya sebagai negarawan—sosok BJ Habibie seperti mengisi kerisauan kita tentang absennya manusia Indonesia dalam kualitas puncak itu. Kualitas yang sungguh-sungguh kita harapkan dapat ditemukan pada presiden kita hari ini, Susilo Bambang Yudhoyono.

Kerancuan posisi

Namun, tampaknya, harapan tersebut masih belum dapat terpenuhi. Apa yang diperlihatkan oleh SBY dalam pidato kenegaraan di sidang bersama DPD-DPR, 16 Agustus 2011, pagi, menunjukkan bagaimana sebagai kepala negara ia masih tak dapat membagi diri, peran, dan tugasnya sebagai eksekutif yang memimpin lembaga pemerintahan dengan posisinya sebagai pemimpin yang meng-”atas”-i kepentingan sempit golongan, agama, suku, bahkan seluruh lembaga negara yang ada.

Sebagai kepala negara selaiknya ia menciptakan ruang abstrak terluas sebagai universum, dengan semua elemen atau pemangku kepentingan hanya jadi himpunan bagian. Ia adalah representasi bangsa, entitas tempat negara dan kemudian pemerintahan dilahirkan.

Yang kita dengar dalam pidato SBY di sidang bersama itu hampir seluruhnya menggambarkan hasil kerja dan kesuksesan pemerintahannya, program, dan cara-cara seorang eksekutif memberi solusi bagi persoalan-persoalan pragmatis rakyatnya. Persoalan-persoalan yang ternyata harus diakui didominasi perhitungan-perhitungan ekonomis, plus beberapa perhitungan politik dan hukum, serta sedikit tersinggung soal pendidikan, daerah, dan diplomasi luar negeri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com