Usulan itu tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah versi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan versi pemerintah. Hal itu dikatakan Ketua Komite I DPD Dani Anwar dan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan secara terpisah di Jakarta, Jumat (12/8).
Dalam Pasal 6 Ayat (1) Huruf q RUU Pemerintah Daerah versi DPD disebutkan, calon kepala daerah tidak sedang menduduki jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah atau penjabat kepala daerah. ”Jadi, kalau dia incumbent (petahana), dia harus berhenti dulu kalau mau mencalonkan kembali,” kata Dani.
Petahana harus melepas jabatannya begitu mendaftar sebagai peserta pemilihan umum kepala daerah (pilkada) ke Komisi Pemilihan Umum daerah. Dani mengatakan, aturan itu diusulkan karena DPD melihat selama ini petahana sering memanfaatkan jabatan untuk memobilisasi birokrat atau pegawai untuk kepentingan kemenangan dalam pilkada.
Dari hasil pemantauan DPD, tidak sedikit petahana yang mengintervensi penyelenggaraan pilkada, dari pengambilan keputusan di KPU daerah hingga permasalahan teknis. ”Masalah-masalah teknis itu seperti pemberian kartu pemilih. Dia (petahana) ikut menentukan, siapa yang diundang ke TPS (tempat pemungutan suara) dan siapa yang tidak diundang,” ujar Dani.
Syarat lain, petahana tidak boleh memanfaatkan anggaran daerah untuk kampanye selama satu tahun sebelum mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah. Petahana juga harus menunjukkan keberhasilan dalam kinerja pembangunan dan keuangan daerah. Kedua syarat ini harus dibuktikan dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan laporan keuangan daerah harus dengan predikat wajar tanpa pengecualian.
Petahana juga harus bebas dari kaitan tindak pidana korupsi, baik yang dilakukan sendiri maupun dilakukan bawahannya.
Secara terpisah, pengajar Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Ibnu Tricahyo, sepakat dengan ketentuan petahana harus mundur dari jabatan ketika mencalonkan diri. Dalam praktiknya, calon petahana sangat mudah menggerakkan birokrasi dan APBD. Dana hibah, misalnya, rawan dimanfaatkan untuk pemenangan calon petahana.
Selain itu, calon petahana yang sudah mencapai batas dua periode masa jabatan semestinya juga dilarang maju sebagai calon wakil kepala daerah. Hal ini terjadi di beberapa daerah. Salah satunya di Surabaya, yaitu Wali Kota Surabaya Bambang DH mengajukan diri sebagai calon wakil kepala daerah pada pilkada berikutnya.
”Esensinya menjabat maksimal dua kali. Kalau kemudian beralih mencalonkan diri sebagai calon wakil kepala daerah, tidak wajar dan tidak etis,” ujarnya.