Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Kepartaian Kita

Kompas.com - 05/08/2011, 02:42 WIB

Oleh Dodi Ambardi

DPR membuat undang-undang, anggota DPR pula yang melanggarnya. Kasus Nazaruddin adalah satu di antaranya.

Pasal 34 UU Partai Politik hasil revisi tahun 2011 secara terang benderang memberikan spesifikasi bahwa partai politik memperoleh dana APBN/APBD melalui peruntukan langsung, yakni penjatahan proporsional untuk partai berbasis perolehan suara. ”Pungutan” yang diperoleh dari proyek yang dibiayai APBN, sebagaimana dalam kasus Nazaruddin, tidak masuk dalam spesifikasi itu. Oleh karena itu, sumber pendanaan semacam ini termasuk dana politik terlarang.

Tentu saja ini adalah kasus hukum yang kini jadi titik perhatian media massa. Namun ada yang terlewat dalam ingar-bingar kasus ini, yang menyisakan pertanyaan mengapa suara kritis di media lebih banyak menampilkan akademisi, aktivis LSM, praktisi hukum, dan mahasiswa. Sesekali ada anggota DPR, tetapi itu hanya bersifat sporadis. Tampaknya kita perlu menengok aturan-aturan informal yang hidup dalam politik kepartaian kita, yang bisa membantu kita memahami politik kepartaian lebih jauh.

Perbandingan

Kita bisa menyandingkan kasus Nazaruddin ini dengan geger Bank Century. Dalam kasus Century, individu-individu utama partai di DPR hingga ketua umum partai menegaskan posisinya, yakni membenarkan atau menyalahkan kebijakan pemerintah dalam hal penyelamatan Bank Century. Bahkan, mereka masuk ke detail dengan memerinci empat keputusan pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan Bank Century.

Di tingkatan kolektif, geger Century membelah DPR jadi dua kubu dan menghasilkan polarisasi antarpartai. Perselisihan politik di tingkat elite partai ini berujung pada penggunaan mekanisme voting di DPR, mekanisme yang sangat jarang digunakan di lembaga legislatif kita.

Lain halnya dengan kasus Nazaruddin. Di tingkat individual, elite partai tak begitu ganas bersuara. Para dedengkot partai tak memamerkan kegalakan, bahkan ada simpati yang disampaikan terkait dengan kasus ini. Di tingkat kolektif, indikasi polarisasi juga tak muncul. Sampai kini desakan membentuk sebuah pansus hampir tak terdengar.

Ada beberapa spekulasi yang bisa dipakai untuk menjelaskan keanehan pola respons para petinggi partai. Pertama, magnitude kasus Nazaruddin tidak sebesar kasus Bank Century yang menghasilkan pansus. Argumen ini masuk akal, tetapi tak meyakinkan. Bukankah dulu DPR juga menangani kasus Buloggate I dan II, serta keduanya berujung pada pembentukan pansus yang magnitude-nya lebih kurang sama?

Kecuali karena DPR begitu pelupa, kita sulit menemukan alasan mengapa kasus Nazaruddin tidak ditangani sebagaimana skandal Buloggate. Namun, dalih lupa kelewat banyak digunakan di republik ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com