Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prita dan Lorong Keadilan

Kompas.com - 19/07/2011, 02:46 WIB

M ALI ZAIDAN

Putusan Mahkamah Agung yang menghukum Prita Mulyasari merupakan putusan yang sah menurut hukum. Dikatakan sah karena telah sesuai dengan ketentuan hukum positif.

Pasca-putusan lembaga peradilan tertinggi itu, status terpidana akan disandang oleh Prita—meskipun dengan hukuman percobaan—dan upaya hukum untuk melawan putusan hanya melalui mekanisme peninjauan kembali (PK).

Praktis kedudukan Prita saat ini seperti berada di ujung lorong panjang bernama keadilan. Dari sudut pandangan hukum, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya, putusan tersebut sah dan mengikat (res judicata pro veritate habetur), dengan demikian mempunyai kekuatan eksekutorial.

Akan tetapi, pandangan normatif demikian akan berbeda ketika sekalian proses hukum dipandang dari sudut sosiologis. Putusan hukum bukan akhir dari segala-galanya. Masih terbuka jalan untuk mencapai keadilan, sepanjang pihak-pihak, terutama hakim, mampu menerjemahkan makna keadilan secara progresif.

Benarlah Ulpianus menyatakan bahwa keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus-menerus untuk memberikan seseorang apa yang menjadi haknya (Iustitiaest constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribendi). Putusan hakim harus dibaca sebagai keputusan yang berdasarkan undang-undang, tetapi gagal menghadirkan keadilan. Begitu juga upaya hukum kasasi yang diajukan oleh jaksa dalam kasus itu, dari sudut perundang-undangan ataupun doktrin hukum, tidak mendapatkan pembenaran, kecuali dari sudut praktik hukum yang umumnya kental diwarnai nuansa pragmatisme.

Tampaknya lembaga peradilan tertinggi sekalipun terkadang gagal menjelmakan diri sebagai hall of justice, tempat segenap kepentingan manusia untuk menghadirkan keadilan saling bergumul untuk mencapai tujuan akhir, yakni keadilan. Dari sudut ini, putusan Mahkamah Agung lebih mengedepankan aspek kepastian hukum sesuai undang-undang.

Tanpa hak

Undang-undang yang dijadikan dasar untuk menghukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang di dalam Pasal 27 Ayat (3) terdapat unsur tanpa hak. Unsur itu merupakan penamaan lain dari frasa melawan hukum (wederrechtelijkheid) yang telah jauh bergeser maknanya hingga saat ini.

Melawan hukum, yang semula diartikan bertentangan dengan undang-undang, telah berkembang menjadi bertentangan dengan kesusilaan dan pandangan umum masyarakat. Bahkan, saat ini telah diperkaya dengan makna melawan hukum dengan fungsi negatif. Artinya, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa telah mencocoki rumusan undang-undang, tetapi untuk menghukum terdakwa harus diperhatikan juga suasana yang berkembang dalam masyarakat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com