Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menonton Hewan di Layar Kaca

Kompas.com - 16/07/2011, 02:53 WIB

Lalu, apakah tayangan semacam ini berpotensi memberi pemahaman yang keliru tentang alam? Anda bisa menjawabnya. Apakah hewan yang ada itu bagian properti atau bukan? Tentu para penanggung jawab stasiun televisi bersangkutan yang bisa menjawabnya.

Medium televisi

Perlakuan kekerasan terhadap hewan memang bukan sesuatu yang asing dan tabu di negara ini. Kita mengenal banyak kebudayaan di Nusantara yang melibatkan hewan dalam aktivitasnya. Adu domba di Garut, karapan sapi di Madura, adu ayam di Bali, dan di banyak tempat lain ada adu anjing dengan babi hutan, pacuan kuda, adu jangkrik, adu cupang, dan lain-lain.

Memang harus diakui, beberapa di antaranya arena keberingasan manusia, seperti judi dan sadisme. Beberapa lainnya berpraktik di dalam konteks sosio-kultural masyarakat pendukungnya. Ada alasan substantif beraspek spiritual dalam praktiknya. Dalam konteks ini, hewan bukan obyek dengan status sebagai benda kepemilikan. Bahkan, beberapa di antara hewan punya posisi sosial tertentu sehingga mendapat perlakuan istimewa.

Sangat berbeda praktik demikian di dalam televisi, medium tanpa bingkai yang dengan wajah ”ramahnya” hadir sampai ruang paling pribadi sekalipun. Tayangan hewan seperti ketiga contoh itu, selain karena hanya berujung pada wujud naluri kemanusiaan yang dangkal, juga gagal memahami televisi sebagai medium penyampai pesan.

Pertama, berbeda dengan kebudayaan tradisi yang khalayaknya terbatas, televisi justru bersiaran dengan batasan yang tak terukur siapa khalayaknya. Apakah anak-anak dan orang dengan kepekaan kekerasan tertentu berpotensi jadi penonton tayangan semacam itu? Tentu hak kelompok penonton macam ini harus dilindungi.

Kedua, televisi adalah media yang dalam siarannya meminjam frekuensi publik. Frekuensi ini dipinjamkan sementara oleh negara dengan asumsi lembaga penyiaran menggunakan haknya ini untuk kemaslahatan masyarakat sebesar-besarnya.

Dalam stasiun televisi swasta yang bersiaran nasional, yang melangkahi batas wilayah geokultural yang beragam, perspektif mana yang dipakai? Bukankah tingkat kepekaan terhadap kekerasan hewan di suatu budaya akan berbeda di lain budaya? Apakah perspektif di lain budaya boleh diabaikan, padahal frekuensi ini turut dimiliki publik selain Jakarta?

Maka, sesekali mari ajukan pertanyaan berikut kepada tayangan semacam ini. Mentalitas anak-anak macam apa yang hendak dibentuk? Seberapa jauh anak-anak cukup mampu untuk tak menirunya? Apakah pembiasaan terhadap kekerasan, sadisme, dan darah berkontribusi terhadap maraknya aksi kekerasan manusia secara horizontal ataupun vertikal? Bagaimana pemenuhan kaidah internasional tentang kesejahteraan hewan?

Roy Thaniago Koordinator Umum Remotivi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com