Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Paling Aman Jadi Koruptor...

Kompas.com - 03/07/2011, 04:47 WIB

Lontong menawari Kartolo menjadi kader partai, tetapi Kartolo menolak. Ditawari menjadi pengurus partai pun menolak. Tawaran menjadi calon wakil presiden mendampingi calon presiden Cak Lontong pun ditampik. Rayuan biduan dangdut Inul Daratista tak mempan menggoda Kartolo. Putri Waria Indonesia 2006, Merlyn Sopjan, pun gagal mengusik tapa brata Kartolo.

Godaan terberat datang dari istri Kartolo, Ning Tini, yang menganggap suaminya aneh karena menolak tawaran Partai Gajah Oling. Namun, Kartolo kukuh. ”Aku wedi (takut) kalah lucu Ning,” ujar Cak Kartolo menjelaskan alasannya.

Ning Tini dan Kartolo akhirnya gegeran. Sutradara Sudjiwo Tejo menampilkannya sebagai pertarungan Srikandi melawan buta cakil (raksasa), tari tradisi Jawa Tengah. Kearifan Kartolo menjelma menjadi Srikandi, sementara nafsu kekuasaan Ning Tini menjelma menjadi buto cakil lanang.

”Mungkin ada yang salah menganggap Kartolo adalah buta cakil. Padahal, sesungguhnya setiap lelaki memiliki sisi perempuan dan sisi perempuan Kartolo hadir sebagai Srikandi melawan sisi kelaki-lakian serakah Ning Tini, buta cakil,” papar Tejo.

Maka, politik uang pun dijalankan. Para pengurus Partai Gajah Oling yang dimainkan Loedroek ITB menitipkan uang kepada Sapari untuk memikat Kartolo. Amplop-amplop uang itu tepergoki Mahfud MD yang tampil ke panggung dengan busana tanah kelahirannya, Madura, dan melepas semua atributnya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.

Mahfud berwejang soal politik uang yang menghancurkan negara dan kemacetan politik akibat politik saling sandera antarpartai. Sayangnya, Loedroek ITB lupa kalau Mahfud bukan sekadar intelektual serius, melainkan juga orang Madura dan Nahdliyin yang bisa jenaka. Uraian serius Mahfud selalu terpotong dialog sebelum ia memunculkan kejenakaannya sehingga adegan itu lebih seperti talkshow televisi. Sayang sekali.

Mengolok situasi politik tidak mudah, juga mengemas ulang ludruk, sehingga Kartolo sedikit jengah melakukannya.

”Ludruk biasa menyindir situasi sosial masyarakat lewat kidungan yang halus. Di Jakarta orang lebih berani mengkritik langsung lewat dialog. Namun, saya senang terlibat pementasan ini,” tutur Kartolo.

Dalam hal satire sosial-politis, seniman rakyat lebih cerdas, tanpa harus keminter atau sok intelek. Parikan Kartolo tentang koruptor itu adalah sindiran yang cerdas. Dan, ingat juga parikan melegenda dari seniman ludruk legendaris Cak Durasim pada masa penjajahan Jepang: ”Pagupon Omahe Doro, Melok Nippon Tambah Soro (Pagupon rumah burung dara, ikut Nippon makin sengsara).

Namun, rindu penonton akan ludrukan Kartolo yang melegenda sebagai program siaran RRI tahun 1970-an tetaplah terobati. Dan, Cak Lontong menjanjikan masa depan tradisi ludruk yang jenaka menyuarakan nasib wong cilik.

Akan tetapi, apa pentingnya mbalelo? Apa pentingnya menjadi lucu? Bagi Butet Kartaredjasa, produser Indonesia Kita yang menggelar acara tersebut, kejenakaan dan blak-blakan ala ludrukan adalah modal berproses ”menjadi Indonesia”.

”Kejenakaan penting agar proses menjadi Indonesia itu rileks. Kejenakaan penting untuk menggembosi ketegangan agar proses menjadi Indonesia dapat dilanjutkan tanpa berdarah-darah,” kata Butet.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com