Jakarta, Kompas -
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan memaparkan hal itu di Jakarta, Jumat, (1/7), terkait profil kemiskinan berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional Maret 2011.
Menurut Rusman, perhitungan garis kemiskinan merupakan representasi inflasi bagi masyarakat miskin. Tingkat garis kemiskinan naik mengikuti harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh orang miskin. Kenaikan garis kemiskinan Maret 2010-Maret 2011 lebih tinggi dari laju inflasi tahunan (year on year) 6,65 persen.
Menanggapi hal itu, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan, kenaikan garis kemiskinan versi BPS menunjukkan daya beli masyarakat semakin tinggi. Daya beli meningkat karena ada kenaikan pendapatan. ”Bisa juga dilihat bahwa itu (kenaikan garis kemiskinan) berarti ada kenaikan biaya hidup atau juga menyangkut kesejahteraan dan pendapatan yang bertambah,” ujar Hatta.
Menurut Hatta, kenaikan garis kemiskinan itu sangat wajar karena pendapatan rata-rata masyarakat juga bertambah. ”Daya beli meningkat, apalagi posisi pendapatan per kapita Indonesia saat ini sudah mencapai 3.000 dollar AS,” ujarnya.
Anggota Kaukus Ekonomi dan anggota Komisi XI DPR, Arif Budimanta, mengatakan, garis batas kemiskinan baru yang ditetapkan BPS belum menggambarkan kondisi perekonomian masyarakat ekonomi lemah yang sesungguhnya. Garis kemiskinan yang dibuat BPS itu hanyalah garis kemiskinan semu.
”Angka kemiskinan kurang menunjukkan fenomena yang terjadi di masyarakat, apalagi garis kemiskinan yang dipakai sangat rendah,” katanya.
Penentuan garis kemiskinan itu pernah menjadi kontroversi. Awal Juni lalu pimpinan Komisi XI DPR membubarkan rapat kerja bersama Menteri Keuangan dengan agenda Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012.
Waktu itu, rapat kerja dibubarkan karena informasi batas garis kemiskinan yang disampaikan pemerintah tidak sama. Garis kemiskinan yang sempat disebutkan BPS adalah setara 1,5 dollar AS atau Rp 12.000 sehari, sementara dalam usul Menkeu pada level Rp 7.000 per hari.