Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memahami Gratifikasi

Kompas.com - 13/06/2011, 03:39 WIB

Eddy OS Hiariej

Wacana mengenai gratifikasi kembali muncul. Ini menyusul pemberian uang sebanyak 120.000 dollar Singapura dari M Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat, kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar yang terjadi September 2010. Namun, kejadian baru terungkap ke publik tiga minggu lalu.

Apakah perbuatan M Nazaruddin dapat dikategorikan sebagai suatu gratifikasi? Tulisan berikut mencoba mengulasnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah uang kepada pegawai di luar gaji yang ditentukan. Sedangkan dalam kamus hukum, gratifikasi—yang berasal dari bahasa Belanda, gratificatie, atau bahasa Inggrisnya, gratification—diartikan sebagai hadiah uang. Berdasarkan kedua pengertian tersebut, ada beberapa catatan.

Pertama, baik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun kamus hukum, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah berupa uang. Kedua, pengertian gratifikasi dalam kedua kamus tersebut bersifat netral. Artinya, tindakan gratifikasi bukanlah merupakan suatu perbuatan tercela atau makna suatu perbuatan yang negatif. Ketiga, obyek gratifikasi dalam pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia jelas ditujukan kepada pegawai, sementara dalam kamus hukum, obyek gratifikasi tidak ditentukan.

Dalam konteks hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, pengertian gratifikasi tidak sama persis dengan apa yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun kamus hukum. Istilah gratifikasi secara jelas dan gamblang kita temukan dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Kutipan pasal

Agar tidak bias, secara lengkap kedua pasal tersebut dikutip sebagai berikut:

Pasal 12B Ayat (1), Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

Ayat (2), Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com