Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemberantasan Korupsi Terjebak dalam Retorika

Kompas.com - 09/06/2011, 02:30 WIB

Jakarta, Kompas - Komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi dinilai masih lemah, bahkan terjebak dalam retorika politik. Akibatnya, praktik korupsi kian marak dan pelakunya tak malu lagi melakukan tindak kriminal luar biasa tersebut.

Hal itu disampaikan pengajar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali, dan Direktur Reform Institute Yudi Latif secara terpisah di Jakarta, Rabu (8/6). Keduanya menilai, pangkal masalah korupsi yang terus merajalela adalah lemahnya kepemimpinan nasional. Meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji berdiri paling depan dalam pemberantasan korupsi, pelaksanaannya belum maksimal.

Menurut Yudi Latif, kondisi memprihatinkan ini terjadi karena komitmen elite politik dan pemimpin bangsa ini untuk memerangi korupsi masih rendah. Situasi kian sulit lantaran sebagian elite juga terjerat dalam jejaring korupsi.

Effendi menilai, janji pemerintah untuk memerangi korupsi sudah telanjur dianggap sebatas retorika tanpa tindakan hukum tegas. Dalam sosialisasi politik, program pemberantasan korupsi tidak disuarakan keras. Pemerintah dianggap tak sungguh-sungguh dan masyarakat kian kehilangan kepercayaan.

Akhirnya, pemberantasan korupsi tak menakutkan, sementara tindakan korupsi juga tidak memalukan lagi. Bahkan, penyimpangan terhadap norma susila dianggap lebih nista daripada korupsi. ”Lihat saja, para tersangka korupsi yang ditangkap KPK tampak tidak terlihat malu, bahkan tersenyum atau melambaikan tangan. Beberapa tersangka berani mengerahkan massa untuk berunjuk rasa di depan KPK,” katanya.

Effendi mengajak semua elemen masyarakat bersatu untuk melakukan hal-hal nyata dalam menekan kejahatan korupsi. Para pemimpin di semua kelompok masyarakat harus berani bersuara lantang. Korupsi yang sudah menjadi kanker di negeri ini mesti diberantas dari segala lini.

Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Benny Susetyo di Jakarta, Rabu, mengungkapkan, dari segi kultur, kultur feodal yang menekankan paham kekuasaan cukup memengaruhi tingkat korupsi di Indonesia.

”Dalam kultur feodal, pemimpin, atasan, atau orang yang berkuasa adalah raja atau penguasa yang tidak bisa disentuh,” kata Benny. Masyarakat harus tunduk pada penguasa atau pemimpin.

Akibatnya, menurut dia, tidak muncul kultur yang dapat memberi nilai-nilai transparan dan akuntabel. Di sisi lain, banyak sikap pemimpin yang tidak otentik, menyimpang, dan tidak mau dikritik. Dengan kondisi atau kultur seperti itu, praktik koruptif pun dapat berkembang subur.

Oleh karena itu, ujar Benny, pendidikan karakter bangsa untuk mendidik manusia Indonesia yang merdeka sangat penting. Manusia merdeka berarti orang- orang yang dididik untuk menjadi pemenang yang menekankan kemampuan, profesionalitas, dan rasionalitas.

Pembentukan karakter bangsa, ujar pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Mardiatmadja, terutama melalui pendidikan, sangat penting untuk membersihkan korupsi. Korupsi merupakan proses pembusukan di masyarakat yang tidak dapat hanya ditangani dengan hukum atau cara-cara politis.

Koordinator Divisi Monitoring Hukum Indonesia Corruption Watch Febri Diansyah mengatakan, faktor moralitas dan kultur memang berpengaruh terhadap korupsi, tetapi ada akar lain yang lebih signifikan, yakni korupsi dari sudut pandang penyalahgunaan wewenang. ”Korupsi seperti inilah yang sesungguhnya menggerus kita sampai sekarang,” katanya. Ketua Masyarakat Profesional Madani Ismed Hasan Putro pun mengusulkan agar diberlakukan negara darurat korupsi.

Ikhtiar bebas korupsi dideklarasikan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rabu. Wilayah bebas dari korupsi diterapkan di delapan dari 756 satuan kerja. Pencanangan itu dihadiri Ketua KPK Busyro Muqoddas, Ketua BPK Hadi Poernomo, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan, serta Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. (IAM/FER/BIL/FAJ)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com