"Potensi lainnya dalam pemilihan pejabat untuk posisi penting atau calon kepala daerah. Yang penting ada transaksi. Kadang orang yang dipilih tidak ada hubungan antara bidang dan jabatan. Ujung-ujungnya untuk kepentingan partai politik. Tidak hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka ada juga yang terpaksa rampok uang negara beramai-ramai. Cari sumber-sumber untuk pertahankan kekuasaan atau jabatan," paparnya.
Ade menilai, kondisi politisi mencari sumber dana bagi partainya inilah yang menyebabkan partai cenderung melindungi anggotanya yang diduga melakukan korupsi.
"Pengakuan dari teman-teman partai itu begitu. Biaya politik mahal sehingga mereka melakukan segala cara mencari sumber dana untuk partai. Inilah makanya partai tidak akan tegas untuk menindak anggotanya, bahkan cenderung melindungi. Itu karena pemilu dan kegiatan politik butuh uang yang sangat besar," ujarnya.
Melihat korupsi politik yang muncul dari politisi ini, Ikrar menyatakan perlu adanya kewaspadaan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik pusat maupun daerah, dalam melihat calon-calon yang akan mengikuti pemilihan umum. Kalau tidak, maka akan muncul bibit-bibit koruptor yang siap memangsa uang negara untuk biaya politik dan kekuasaan ke depan.
Selain itu, independensi Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan tetap terjaga karena mereka sering menjadi tempat terakhir dalam penyelesaian sengketa pemilihan umum (pemilu). "KPU dan KPUD, Panwaslu, juga Mahkamah Konstitusi harus teliti dan bersih menentukan siapa yang akan menjadi pemenang pemilu," tandas Ikrar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.