Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Moralitas Penegak Hukum Merosot

Kompas.com - 04/06/2011, 04:59 WIB

jakarta, kompas - Penangkapan hakim Syarifuddin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi semakin menambah daftar panjang dan membuktikan penegak hukum di Indonesia memang terlibat mafia. Penegakan hukum di negeri ini berada di tubir jurang kegagalan.

Penangkapan itu juga semakin membuktikan hukum tidak berjalan karena lembaga yang mesti mengawalnya malah korup.

Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febridiansyah, mengatakan, penangkapan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan persoalan krisis integritas pada lembaga hukum bukan lagi persoalan individual.

Menurut Febridiansyah, lembaga penegak hukum di Indonesia mulai kepolisian, kejaksaan, sampai peradilan telah terbukti koruptif dengan penangkapan individu-individu di dalamnya karena kasus korupsi. Jika tak ada langkah radikal membenahi masalah ini, pada masa depan masih tetap ada aparat penegak hukum yang ditangkap karena korupsi.

”Ada dua titik yang paling bahaya kalau dijangkiti oleh korupsi. Pertama, sektor penegakan hukum karena dia mengawal, memutus, dan memproses kejahatan. Sektor kedua adalah politik karena sektor ini menempatkan orang sebagai menteri dan birokrasi kelas atas yang hari ini mengambil keputusan di negeri ini. Kalau dari penegak hukum, polisi dengan rekening gendutnya, kejaksaan antara lain dengan kasus jaksa Urip Tri Gunawan. Sekarang juga terjadi di pengadilan. Makanya, ini bukan lagi persoalan personal individu penegak hukum, tetapi sudah kelembagaan,” kata Febridiansyah di Jakarta, Jumat (3/6).

Setelah reformasi kekuasaan kehakiman memang tak lagi diintervensi oleh eksekutif karena Mahkamah Agung (MA) berdiri sendiri sebagai cabang kekuasaan negara yang mandiri. Namun, menurut Febridiansyah, kekuasaan kehakiman tak mendapat pengawasan eksternal dengan bagus meski konstitusi memberi peluang terhadap Komisi Yudisial (KY) mengawasi hakim.

”Di tengah perjalanan, KY dilemahkan. Beberapa kewenangannya dibatalkan oleh MK dan, ironinya, pemohonnya saat itu adalah sejumlah hakim agung. Selain itu, masih ada pula resistensi dari status quo di MA. Keberadaan KY tidak sebagai partner memperbaiki institusi pengadilan. MA malah resisten dan tak mau diawasi, malah ada instruksi agar hakim agung tak usah menghadiri panggilan KY,” kata Febridiansyah.

Febridiansyah mengungkapkan, di kepolisian dan kejaksaan juga tak banyak berbeda. Malah Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi seperti tak banyak berbuat terhadap kasus yang mendera kepolisian dan kejaksaan. Kasus rekening gendut di kepolisian tak pernah ditindaklanjuti. Sementara di kejaksaan, Presiden tak mampu menunjuk jaksa agung yang punya iktikad dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi.

”Penangkapan politisi, jaksa, dan hakim semestinya jadi catatan Presiden membersihkan institusi yang ada di bawahnya langsung. Presiden tak berupaya maksimal saat ada kasus rekening gendut di kepolisian. Dalam kasus jaksa bermasalah, Presiden tak punya iktikad untuk memilih jaksa agung yang punya komitmen dan tanpa kompromi memberantas korupsi,” katanya.

Gagal

Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Sumatera Utara, Farid Wajdi mengatakan, moral penegak hukum di Indonesia dari advokat, hakim, polisi, sampai jaksa mengalami defisit luar biasa. ”Para penegak hukum banyak yang tak amanah. Kasus hukum dibuat jadi komoditas. Ini menandakan reformasi di bidang hukum telah berada di bibir jurang kegagalan,” katanya.

Farid mengatakan, penangkapan terhadap hakim Syarifuddin mestinya jadi momentum yang harus segera dimanfaatkan negara memperbaiki sistem penegakan hukum. ”Dengan memberikan sanksi seberat-beratnya terhadap penegak hukum yang menyimpang,” katanya. (BIL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com