Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gagal Ginjal akibat Infeksi E Coli

Kompas.com - 03/06/2011, 11:39 WIB

KOMPAS.com — Infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakteri Escherichia coli (E coli) pada umumnya akan menyebabkan diare dan keram perut paling lama satu minggu setelah mengonsumsi makanan yang tercemar. Namun, pada kasus wabah yang disebabkan oleh salah satu strain E coli ini, penderitanya dapat mengalami komplikasi ginjal langka yang disebut hemolytic uremic syndrome.

Hemolytic uremic syndrome (HUS) merupakan jenis gagal ginjal yang jarang ditemukan. Biasanya hanya diderita 5-15 persen populasi, terutama pada anak-anak yang terinfeksi E coli.

Penyakit ini muncul setelah gejala diare membaik. Dalam situs WebMD disebutkan, gejala HUS meliputi demam, nyeri pada perut, kulit pucat, kelelahan, urine berkurang, memar yang tidak bisa dijelaskan, perdarahan dari hidung dan mulut, serta pembengkakan pada wajah, tangan, kaki, atau bagian tubuh lain.

Apabila kita mengonsumsi makanan yang tercemar E coli, di usus organisme ini akan mengeluarkan toksin dan diserap ke pembuluh darah kemudian terbawa oleh sel darah putih (lekosit) ke ginjal. Hal ini akan menyebabkan gangguan ginjal akut.

Dampak yang lebih fatal dari penyakit ini adalah kerusakan pada otak, kejang, bahkan koma. Penyakit ini juga bisa menyebabkan komplikasi pada organ pankreas dan organ lain.

Dalam mengatasi infeksi bakteri ini, para dokter di Eropa dan Amerika Serikat tidak lagi memberikan antibiotik sejak sejumlah penelitian menunjukkan bahwa langkah itu justru memperburuk kondisi pasien.

"Tampaknya antibiotik membuat bakteri meledak dan racun yang berada di dalamnya keluar dan menimbulkan kerusakan," kata Dr Buddy Creech, asisten  profesor penyakit menular di Vanderbilt University School of Medicine seperti dilansir CNN.

Menurutnya, hingga kini belum ada pengobatan khusus untuk mengatasi keganasan bakteri tersebut.

"Yang bisa kita lakukan adalah memberikan pasien obat mengatasi rasa sakit atau menempatkan mereka pada ventilator atau dialisis jika mereka membutuhkannya. Kita tidak bisa menangani masalah yang sebenarnya. Kita hanya bisa menunggu tubuh pulih dengan sendirinya. Yang bisa dilakukan hanya memonitor pasien dan berharap yang terbaik," ujar Dr Robert Steele, dokter anak dari  St John’s Children’s Hospital di Springfield, Missouri.

Sementara itu, spesialis penyakit dalam dari RS Cipto Mangunkusumo, dr. Ari Fahrial Sp.PD-KGEH, menjelaskan, gagal ginjal akibat infeksi bakteri mungkin terjadi apabila seseorang mengalami kekurangan cairan yang sangat parah.

Gejala awal yang timbul pada pasien terinfeksi E.coli, kata Ari, pada umumnya adalah diare berat. Akibatnya, tubuh mengalami dehidrasi yang bisa berujung pada terganggunya fungsi ginjal.

Selain itu, faktor lain seperti toksin atau racun yang dikeluarkan atau dihasilkan oleh bakteri dalam tubuh dapat menjadi  pemicu terjadinya gagal ginjal.

"Dan ini yang berbahaya. Kalau bakterinya mati, kemungkinan toksinnya akan mati. Tapi bisa juga kumannya mati, toksinnya tetap hidup,” jelasnya.

Tak perlu panik

Ari menambahkan, infeksi bakteri E.coli bagi manusia mempunyai dampak yang sangat luas. Kebanyakan, infeksi bakteri  ini memiliki angka kematian rendah, namun angka kejadiannya tinggi.

Merebaknya wabah E.coli di Eropa diduga terjadi lantaran kebiasaan  mengkonsumsi sayur-sayuran mentah seperti ketimun dan salad. Padahal, menurut Ari, bakteri dalam makanan tidak akan mati hanya dengan cara mencucinya. “Sebaiknya dimasak. Karena kalau dimasak dengan baik pada suhu tertentu misalnya 80 derajat celcius, biasanya akan mati,” tambahnya.

Ari  berpesan agar masyarakat di Indonesia tidak perlu panik atau ikut terpengaruh dengan wabah bakteri yang melanda sebagian negara Eropa. Karena menurutnya, Indonesia tidak pernah mengimpor sayur-sayuran dari negara tersebut.

Justru Ari mengingatkan kepada orang Indonesia yang berencana untuk berpergian ke luar negeri agar lebih waspada. "Yang jelas, kalau bicara makanan kita harus melihat, apakah makanan itu masih segar, ada kontaminasi atau tidak, bagaimana daya tahan tubuh kita terhadap makanan tersebut, lingkungan sekitar, dan paling penting budayakan hidup sehat," pungkasnya. (bram)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com